Barangkali akan ada orang bertanya:
Apakah tidak memenuhi suatu maksud umat, untuk mengembalikan sebagian keindahan yang pernah dicapai oleh orang-orang besar kita, yang telah berhasil mengisi lembaran sejarah yang berharga itu, lantas para pembesar itu diabadikan dalam bentuk patung, agar menjadi peringatan generasi berikutnya terhadap jasa-jasa, dan keunggulan yang pernah mereka capai? sebab peringatan bangsa itu sering dilupakan dan pertukaran malam, dan siang itu sendiri sebenarnya yang membawa lupa.
Untuk menjawab persoalan ini, perlu dijelaskan, bahwa Islam sama sekali tidak suka berlebih-lebihan dalam menghargai seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Jangan kamu menghormat aku (saw) seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa as bin Maryam, tetapi katakanlah, bahwa Muhammad (saw) itu hamba Allah swt dan RasulNya." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)Mereka bermaksud akan berdiri apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya, dan untuk mengagungkan kedudukannya.
Cara semacam berdiri dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:
"Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)Beliau pun memberikan suatu peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi saw sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut:
"Jangan kamu menjadikan kuburku (saw) ini sebagai tempat hari raya." (Riwayat Abu Daud)Dan dalam doanya kepada Tuhan swt beliau mengatakan:
"Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah." (Riwayat Malik)Ada beberapa orang datang kepada Nabi s.a.w., mereka itu memanggil Nabi saw dengan kata-katanya:
"Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami."Mendengar panggilan seperti itu, Nabi saw kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad (saw), hamba Allah swt dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah swt tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i)Agama ini (Islam) pendiriannya dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat seperti berhala yang didirikan, dengan biaya beribu-ribu, supaya orang-orang memberikan penghormatan kepadanya.
Banyak sekali material yang dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran, dan juru kunci tempat-tempat bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut, dan pengekornya yang telah mampu mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah menyesatkan rakyat (umat Muhammad saw) dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu.
Keabadian hakiki yang dikenal di kalangan umat Islam hanyalah Allah swt, yang mengetahui segala yang rahasia dan tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar yang namanya diabadikan di sisi Allah swt adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal oleh manusia. Hal ini justru karena Allah swt suka kepada orang-orang yang baik, taqwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari.
Sekalipun keabadian itu sangat perlu bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang besar, yang perlu diabadikan tersebut. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati, dan lisan, yaitu dengan menyebut kesuksesan perjuangan mereka, dan peninggalan-peninggalan yang baik-baik, yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka.
Dengan demikian mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan.
Rasulullah s.a.w. sendiri dan begitu juga para khalifah ra (khulafaurrasidin) dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan dengan berbentuk materi, dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat.
Keabadian mereka itu semata-mata adalah karena sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceriterakan oleh orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang diceriterakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya.
Sifat beliau itu tertanam dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan gambar.
Halal dan Haram dalam Islam
oleh Yusuf Qardhawi