SUSUNLAH KONSTITUSI YANG BENAR-BENAR KONSTITUSI RES PUBLIKA (1)
Judul : SUSUNLAH KONSTITUSI YANG BENAR-BENAR KONSTITUSI
RES PUBLIKA
Pidato pada Pembukaan Konstituante, 10 Nopember 1956
Sumber : Buku berjudul Bung Karno Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat
Indonesia (Kumpulan Pidato)
Penulis Buku : Wawan Tunggul Alam, SH.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 1 – 30
Halaman 1 - 4
SAUDARA-SAUDARA sekalian.
RES PUBLIKA
Pidato pada Pembukaan Konstituante, 10 Nopember 1956
Sumber : Buku berjudul Bung Karno Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat
Indonesia (Kumpulan Pidato)
Penulis Buku : Wawan Tunggul Alam, SH.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 1 – 30
Halaman 1 - 4
SAUDARA-SAUDARA sekalian.
Hari ini adalah “Hari Pahlawan”. Dengan sengaja saya tempo hari meminta kepada Pemerintah membuka Konstituante ini pada Hari Pahlawan. Sebab ada hubungan yang erat antara cita-cita pahlawan dan tugas Konstituante ini.
Sebagaimana pada 10 Nopember di tahun-tahun yang lampau, juga pada 10 Nopember tahun 1956 ini, saya berpidato atas nama seluruh bangsa dan negara untuk memperingatinya. Melewati atas kepala Saudara-saudara yang hadir dalam gedung ini, pidato ini saya sampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia dimanapun juga ia berada. Karena itu saya buat pidato ini sepopuler-populernya. Dan sudah tentu saya arahkan kata juga kepada bangsa Indonesia di Irian Barat, yang sampai hari ini belum ikut serta menikmati kemerdekaan, tapi suatu ketika oleh perjuangan kita semuanya dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa pasti akan kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Peringatan Hari Pahlawan yang kita lakukan bersama-sama pada hari ini mengandung makna dan semangat yang lebih besar, lebih agung dari pada peringatan-peringatan di tahun-tahun yang lampau. Sebab peringatan hari ini, saya jatuhkan bersama hari pembukaan sidang Konstituante yang akan mengganti Undang-Undang Dasar Sementara yang kini masih berlaku, kelak sudah menjadi sejarah, dan Undang-Undang Dasar yang baru sudah terpancang di bumi Indonesia. Maka itu akan berarti bahwa kita sudah tiba di salah satu puncak Revolusi Nasional kita.
Saudara-saudara sekalian. Di tengah-tengah kota Surabaya, berdiri kini satu tugu yang kuat perkasa, 45 meter tingginya menjulang ke langit dalam udara. Tugu itu bernama Tugu Pahlawan. Tugu itu saya resmikan berdirinya pada 10 Nopember 1952, empat tahun yang lampau. Insya Allah, tugu itu akan berdiri terus dari abad ke abad, sampai entah jaman yang mana. Insya Allah tugu itu akan terus bercerita kepada anak-anak kita, kepada semua angkatan yang akan masih lahir di bumi Indonesia.
Tiap-tiap orang lewat di depan tugu itu akan berhenti sejenak, dan merasa terharu dalam hatinya, merasa jantungnya berdenyut lebih cepat, dan darahnya mengalir lebih deras karena ingat akan hari 10 Nopember 1945, yang menyaksikan kembali semangat pahlawan bangsa Indonesia secara massal, setelah berabad-abad lamanya terpendam, tersembunyi di dalam debunya sejarah.
Di dalam ingatan Saudara tentu masih segar tergambar, dan di dalam buku-buku sejarah yang dipakai dalam sekolah-sekolah SMP pun ada tertulis, apa yang terjadi di kota Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu. Pada hari itu rakyat kita di kota Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu. Pada hari itu rakyat kita di kota Surabaya dihantam dengan meriam, mortir, mitraliur, dan bom oleh angkatan perang Sekutu yang bersenjata lengkap, sedangkan rakyat kita hampir tidak mempunyai senjata. Angkatan perang Sekutu melancarkan serangan itu, karena rakyat kita tidak mau menuruti ultimatumnya yang menuntut supaya rakyat kita tunduk menyerah kepada angkatan perang Sekutu itu dengan tiada bersyarat.
Rakyat kita cinta kepada damai, Rakyat kita cinta kepada hidup, cinta kepada keluarganya, cinta kepada isterinya, cinta kepada anaknya. Mereka tahu bahwa senjata-senjata yang mengandung bencana dan maut sudah disiapkan untuk menghantam mereka remuk redam. Toh mereka pilih melawan terhadap angkatan perang yang bersenjata lengkap dan modern itu, serta sudah terlatih dalam Perang Dunia Kedua. Rakyat kita tahu, bahwa kalau mereka turuti dari angkatan perang Sekutu itu, mereka tidak akan digempur, akan selamat, akan hidup. Tapi mereka tahu pula bahwa selamat dan damai demikian itu adalah selamat dan damainya seorang hamba yang terantai dan terbelenggu.
Maka, sebagaimana permulaan Revolusi Nasional Amerika, Patrick Henry berseru : “Is life so dear, or peace so sweet, as to be purchased at the price of chains and slavery? Forbid it Almighty God! I know not what course others may take, but as for me, give me liberty or give me death!” (Apakah hidup adalah demikian tinggi nilainya dan damai demikian manisnya, sehinga layak dibeli dengan rantai dan perhambaan sebagai harganya? Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, hindarkanlah itu! Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang-orang lain, tapi bagiku sendiri, berilah aku kemerdekaan atau berilah aku maut), juga rakyat kita dengan dipelopori oleh angkatan muda memilih berjuang dan menghadapi maut, daripada menyerah kepada ultimatum itu laksana hamba yang akan dirantai. Juga rakyat kita sebagai Patrick Henry, menjawab ultimatum itu dengan : “Give me liberty or give me death!” “Merdeka atau mati”!
Perlawanan rakyat kita itu adalah gelombang pertama dari pada iring-iringan gelombang-gelombang perlawanan bersenjata dalam Revolusi Nasional kita. Gemuruhnya mengumandang keseluruh Indonesia, melintasi gunung-gunung dan lembah-lembah, tanah-tanah datar dan laut-laut, dan menghikmahi seluruh bangsa, mengelektrisir seluruh badannya natie, mewahyui seluruh jiwanya ksatria Indonesia. Empat tahun lamanya mengombak-gelombanglah perjuangan yang hebat dahsyat di seluruh Indonesia. “Merdeka atau mati” menjadi semboyan setiap patriot. Dan mereka yang mati melepaskan nyawa dengan tersenyum, sebab hatinya yakin, bahwa perjuangan mereka tidak akan hilang percuma.
Sebagaimana pada 10 Nopember di tahun-tahun yang lampau, juga pada 10 Nopember tahun 1956 ini, saya berpidato atas nama seluruh bangsa dan negara untuk memperingatinya. Melewati atas kepala Saudara-saudara yang hadir dalam gedung ini, pidato ini saya sampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia dimanapun juga ia berada. Karena itu saya buat pidato ini sepopuler-populernya. Dan sudah tentu saya arahkan kata juga kepada bangsa Indonesia di Irian Barat, yang sampai hari ini belum ikut serta menikmati kemerdekaan, tapi suatu ketika oleh perjuangan kita semuanya dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa pasti akan kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Peringatan Hari Pahlawan yang kita lakukan bersama-sama pada hari ini mengandung makna dan semangat yang lebih besar, lebih agung dari pada peringatan-peringatan di tahun-tahun yang lampau. Sebab peringatan hari ini, saya jatuhkan bersama hari pembukaan sidang Konstituante yang akan mengganti Undang-Undang Dasar Sementara yang kini masih berlaku, kelak sudah menjadi sejarah, dan Undang-Undang Dasar yang baru sudah terpancang di bumi Indonesia. Maka itu akan berarti bahwa kita sudah tiba di salah satu puncak Revolusi Nasional kita.
Saudara-saudara sekalian. Di tengah-tengah kota Surabaya, berdiri kini satu tugu yang kuat perkasa, 45 meter tingginya menjulang ke langit dalam udara. Tugu itu bernama Tugu Pahlawan. Tugu itu saya resmikan berdirinya pada 10 Nopember 1952, empat tahun yang lampau. Insya Allah, tugu itu akan berdiri terus dari abad ke abad, sampai entah jaman yang mana. Insya Allah tugu itu akan terus bercerita kepada anak-anak kita, kepada semua angkatan yang akan masih lahir di bumi Indonesia.
Tiap-tiap orang lewat di depan tugu itu akan berhenti sejenak, dan merasa terharu dalam hatinya, merasa jantungnya berdenyut lebih cepat, dan darahnya mengalir lebih deras karena ingat akan hari 10 Nopember 1945, yang menyaksikan kembali semangat pahlawan bangsa Indonesia secara massal, setelah berabad-abad lamanya terpendam, tersembunyi di dalam debunya sejarah.
Di dalam ingatan Saudara tentu masih segar tergambar, dan di dalam buku-buku sejarah yang dipakai dalam sekolah-sekolah SMP pun ada tertulis, apa yang terjadi di kota Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu. Pada hari itu rakyat kita di kota Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu. Pada hari itu rakyat kita di kota Surabaya dihantam dengan meriam, mortir, mitraliur, dan bom oleh angkatan perang Sekutu yang bersenjata lengkap, sedangkan rakyat kita hampir tidak mempunyai senjata. Angkatan perang Sekutu melancarkan serangan itu, karena rakyat kita tidak mau menuruti ultimatumnya yang menuntut supaya rakyat kita tunduk menyerah kepada angkatan perang Sekutu itu dengan tiada bersyarat.
Rakyat kita cinta kepada damai, Rakyat kita cinta kepada hidup, cinta kepada keluarganya, cinta kepada isterinya, cinta kepada anaknya. Mereka tahu bahwa senjata-senjata yang mengandung bencana dan maut sudah disiapkan untuk menghantam mereka remuk redam. Toh mereka pilih melawan terhadap angkatan perang yang bersenjata lengkap dan modern itu, serta sudah terlatih dalam Perang Dunia Kedua. Rakyat kita tahu, bahwa kalau mereka turuti dari angkatan perang Sekutu itu, mereka tidak akan digempur, akan selamat, akan hidup. Tapi mereka tahu pula bahwa selamat dan damai demikian itu adalah selamat dan damainya seorang hamba yang terantai dan terbelenggu.
Maka, sebagaimana permulaan Revolusi Nasional Amerika, Patrick Henry berseru : “Is life so dear, or peace so sweet, as to be purchased at the price of chains and slavery? Forbid it Almighty God! I know not what course others may take, but as for me, give me liberty or give me death!” (Apakah hidup adalah demikian tinggi nilainya dan damai demikian manisnya, sehinga layak dibeli dengan rantai dan perhambaan sebagai harganya? Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, hindarkanlah itu! Aku tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang-orang lain, tapi bagiku sendiri, berilah aku kemerdekaan atau berilah aku maut), juga rakyat kita dengan dipelopori oleh angkatan muda memilih berjuang dan menghadapi maut, daripada menyerah kepada ultimatum itu laksana hamba yang akan dirantai. Juga rakyat kita sebagai Patrick Henry, menjawab ultimatum itu dengan : “Give me liberty or give me death!” “Merdeka atau mati”!
Perlawanan rakyat kita itu adalah gelombang pertama dari pada iring-iringan gelombang-gelombang perlawanan bersenjata dalam Revolusi Nasional kita. Gemuruhnya mengumandang keseluruh Indonesia, melintasi gunung-gunung dan lembah-lembah, tanah-tanah datar dan laut-laut, dan menghikmahi seluruh bangsa, mengelektrisir seluruh badannya natie, mewahyui seluruh jiwanya ksatria Indonesia. Empat tahun lamanya mengombak-gelombanglah perjuangan yang hebat dahsyat di seluruh Indonesia. “Merdeka atau mati” menjadi semboyan setiap patriot. Dan mereka yang mati melepaskan nyawa dengan tersenyum, sebab hatinya yakin, bahwa perjuangan mereka tidak akan hilang percuma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar