Beberapa patah kata pribadi Presiden Sukarno:
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya pada MPRS. Izinkan saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.
Nawa Aksara (Nawaksara)
Lebih dahulu tentang laporan progress ini. Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan golongan, sembilan point (punt). Saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya. Ada yang saya namakan pidato “MANIPOL”, ada yang bernama “BERDIKARI”, ada yang bernama “RESOPIM”, ada yang bernama “GESURI” dan lain-lain sebagainya.
Amanat saya ini saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, saya tuliskan didalam amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada amanat ini, pidato ini. Pidato sembilan pokok. Sembilan, ya sembilan apa?
Nah kita ini biasa memakai bahasa Sansekerta (Sanskrit) kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan dwi-tri—Trisaksi—dua-duanya perkataan Sanskrit: catur prasatya, catur = empat, satya = kesetiaan; panca azimat, panca adalah lima. Lah ini, sembilan pokok ini saya namakan apa? Sembilan didalam bahasa Sanskrit adalah nawa; eka, dwi, tri, catur, panca, sad, sapta, hasta, nawa, dasa.
Jadi saya mau beri nama terutama dengan perkataan “Nawa”. Nawa apa?
Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “Aksara”, dus “Nawa-Aksara”, atau disingkatkan “Nawaksara”. Jadinya ada orang yang mengusulkan memberi nama, Sembilan Ucapan Presiden, Nawa Sabda. Nanti kalau saya kasi nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata “Hhhh, Presiden bersabda”. Bersabda itu kan seperti raja, bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan sabda itu. Saya sekarang memakai perkataan Aksara. Aksara dalam arti tulisan, aksara Jawa, aksara Belanda, aksara Latin dan lain-lain, aksara dalam arti tulisan. Nawa Aksara atau Nawaksara, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta kepada wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden Nawaksara.
Dedicate jiwa-ragamu kepada service of freedom
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa kata mengenai diri saya sendiri.
Saudara-saudara semuanya mengetahui bahwa tatkala saya masih muda, amat muda sekali, saya miskin, dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah sering kita ucapkan-saya tinggalkan “this, material world”.
Dunia jasmani saya ini laksana saya tinggalkan karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin.
Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk – kataku sering dalam pidato-pidato dan keterangan-keteranganku – ke dalam “world of the mind”. Saya meninggalkan dunia yang “material” ini, saya masuk ke dalam “world of the mind”, dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia fikiran.
Dunia telah sering saya katakan bahwa, di dalam “world of the mind” itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam “world of the mind” saya berjumpa dengan nabi-nabi besar, dalam “world of the mind” itu saya berjumpa dengan ahli falsafah-ahli falsafah yang besar, di dalam “world of the mind” itu juga saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.
Nah, saya berjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya, dari baca buku-buku. Salah satu pemimpin besar dan salah satu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, mengucapkan kalimat “the cause of freedom is a deathless of cause”. “The cause of freedom is a deathless of cause”, perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati, “the cause of freedom is a deathless of cause”. Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saya aja tertarik pada “cause of freedom” dari ada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi karena saya tertarik kepada “cause of freedom” ini, saya ingin menyumbangkan diriku kepada “deathless cause” ini, “deathless cause of my own people, cause” ini, “deathless cause of my own people, deathless cause of all people on earth.”
Dan lantas saya mendapatkan keyakinan, bukan saja “the cause of freedom is a deathless cause”, tetapi juga “the service of freedom is a deathless service”, pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, itu pun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis, pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian. Bukan “service” yang hanya “lips service”, tetapi “service” yang betul-betul masuk kedalam jiwa, “service” yang betul-betul pengabdian, “service” yang demikian itu adalah “deathless service”.
Dan saya tertarik oleh saya punya pendapat sendiri itu. Pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir tadi berkata: “the service of freedom is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless service.” Dan saya, Saudara-saudara telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri dengan segala apa yang ada pada saya ini kepada “service of freedom.”
Dan saya sadar sekarang ini, “the service of freedom is a deathless service”, yang tidak mengenal habis, tidak mengenal akhir, tidak mengenal maut. Itu adalah urusan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan kedalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari pada tempat kelahirannya, tetapi ia punya “service of freedom” tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang ke tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya diberitahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaan sendiri, saya telah lebih dari pada 35 tahun, hampir 40 tahun, “dedicate myself to this service of freedom” dan saya menghendaki agar supaya seluruh, seluruh, seluruh Rakyat Indonesia, masing-masing juga “dedicate” jiwa-raganya kepada “service of freedom” ini, oleh karena memang “service of freedom” ini “is a deathless service”. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah didalam tangan-Nya Tuhan. Apakah Tuhan memberikan saya “dedicate myself, my all to this service of freedom”, itu adalah Tuhan punya urusan. Karena itu, maka saya terus terus, terus, selalu memohon kepada Allah SWT agar saya diberi kesempatan untuk membuktikan, menjalankan aku-punya “service of freedom” ini. Tuhan yang menentukan, de mens wikt, God beslist: manusia bisa berkehendak macam-macam. Tuhan yang menentukan. Demikian saya, bersandaran kepada keputusan-keputusan Tuhan itu, Saudara-saudara. Cuma saya juga dihadapan Tuhan berkata, ya Allah, ya Rabbi berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat, untuk “dedicate myself to this great cause of freedom and to this great service of freedom”.
Inilah, Saudara-saudara, yang hendak saya katakan kepadamu di waktu saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu sekalian. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian.
Sekian Saudara-Ketua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar