Selasa, Maret 31, 2009

TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA

Catatan M. Hadi, S.Si. (29/03/2009)

Dari beberapa literarur, seperti buku-buku sejarah semenjak di sekolah, film G/30s/pki, dan sumber-sumber bacaan dari internet, seperti di situs wikipedia.com, dll. Partai komunis Indonesia pada tahun 1924 asal muasalnya dari seorang sosialis Belanda Henk Sneevliet pada tahun 1914 yang mendirikan ISDV di Hindia Belanda. Pergerakan dari ISDV banyak disebutkan menentang kekuasaan waktu itu yaitu Belanda. Namun pemberontakan tersebut berhasil dilumpuhkan oleh Belanda, seperti pemberontakan pada akhir 1917 di Surabaya, dan pemberontakan PKI tahun 1926.

Dampak dari pemberontakan ini ternyata berakibat kepada para orang tua pelajar dan pelajar Indonesia di Belanda. Mereka para pelajar yang terhimpun dalam PI dihentikan kiriman uang mereka dari orang tuanya, karena dituduh terlibat dalam komunis.

Pada tahun 1948 setelah perjanjian Renville partai ini berdiri dengan nama PKI dan melakukan pemberontakan kepada Pemerintah, dan pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh tentara RI. Sehingga kekuatan tentara RI bertambah kuat di mata Belanda dan Amerika.

Pada tahun 1950 sampai 1955 PKI mengalami pasang surut, sampai akhirnya ikut PEMILU 1955 dan menjadi partai yang mendapat kursi di Konstituante dan di Parlemen.

Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua bagian barat merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pada pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada September tahun yang sama, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan di kalangan militer dan politik islam. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pihak Permesta akhirnya turun gunung dan bersedia berunding dengan pihak tentara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jend. Nasution. Menurut Kawilarang, sebelumnya telah tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak komunis di Jawa. Karenanya, Kawilarang merasa menyesal ketika Nasution tidak memegang janjinya.

Pada 1959 militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal, dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya. Pada tahun 1960 PKI mendukung ide gagasan NASAKOM dari Presiden Soekarno.

Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno. Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan V yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer Partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
Dari tahun 1963, PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi/militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik. Peristiwa yang menonjol antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa ‘aksi sepihak’ di Klaten. Di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai NU menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah.
Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu terjadi hampir di semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Pemberontakan pada tanggal 1 Oktober 1965, yang gerakannya direncanakan tanggal 30 September 1965 dilakukan oleh PKI. PKI berhasil membunuh para pimpinan TNI AD, kemudian pimpinan PKI mengumumkan sebuah dekrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang pembentukan apa yang mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1 tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI tentang penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya.
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober oleh RPKAD dan tentara RI.
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama pembunuhan, luka pada kakinya dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya, 7. Ade Irma Suryani Nasution (berumur umur 5 tahun) dan ajudan beliau, 8. Lettu CZI Pierre Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
9. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Di DI Yogyakarta :
10. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas)
11. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas)
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:
“ Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revolusi kita bisa jaya. Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!”
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan, seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia (kurang lebih 20 juta pendukung).

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.


Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba”. Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MLS

MLS
multi level sedekah

Mengenal Tambang Lebih Dekat

SATU JARINGAN,MULTI BISNIS!

Entri Populer