TERKAIT Peristiwa 30 September 1965, buku Julius Pour “
G30S, Fakta atau Rekayasa”
(Kata Hasta Pustaka, 2013) menyebutkan ada satu pertanyaan yang
menunggu jawaban. “Jika memang Jenderal Soeharto sudah tahu bahwa
sejumlah perwira progresif revolusioner akan bergerak, mengapa dia tidak
lebih dulu menghabisi mereka? Paling tidak, melaporkannya kepada
Jenderal Yani.”
Untuk itu, Julius Pour yang dulu aktif sebagai wartawan di sebuah media nasional terkemuka, merujuk beberapa catatan dalam buku
Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
(Rum Aly, 2006). Bahwa, kala itu sebenarnya cukup banyak perwira
Angkatan Darat, di antaranya Jenderal Soeharto, yang tahu banyak tentang
adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya
terhadap pimpinan Angkatan Darat. Namun semuanya, tidak ada yang pernah
menindaklanjuti informasi yang mereka terima tersebut. Minimal, dengan
melaporkan kepada atasan. Di lain pihak, bisa terjadi, justru pihak
atasan yang memang tidak tanggap.
SOEKARNO-UNTUNG-SOEHARTO.
“Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan
petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada
jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat.
Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku
gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.”
Menurut buku tahun 2006 tersebut,
Jenderal Soeharto mengetahui adanya rencana gerakan, tidak kurang dari
Kolonel Latief –salah seorang perwira yang kemudian dinyatakan terlibat
dalam peristiwa– sehari menjelang kejadian. Selain itu, sebelumnya
Soeharto pernah pula bertemu Letnan Kolonel Untung ‘pemimpin’ gerakan
militer tanggal 30 September 1965 tersebut. Namun sebenarnya, Soeharto
tak sendirian dalam mengetahui rencana konspirasi –bahkan mungkin justru
terlibat secara mendalam– akan tetapi membiarkan. Tak lain, karena
memang masing-masing tokoh, di antaranya Soekarno, saat itu punya agenda
untuk kepentingan politik dan kekuasaannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, berikut ini adalah kutipan beberapa catatan dalam buku
Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 yang menggambarkan adanya benang merah konspirasi di atas konspirasi dalam Peristiwa 30 September 1965.
SAMPAI tengah malam saat bertemunya
akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965,
terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta
satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua
tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak
buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun
dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda– terkait dengan apa yang akan
terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat
dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus
menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai
orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.
Soekarno, Presiden Republik
Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan
dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira
lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap
dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu
kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi
memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang
dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel
Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang
tanggal 30 September 1965.
Soekarno percaya bahwa kelompok perwira
yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal.
Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris
Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti
sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki
dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari
pada tanggal 1 Oktober 1965.
Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani –yang sebenarnya adalah satu di antara
de beste zonen van Soekarno–
menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah
punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa
salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu
terpengaruh oleh Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan
besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut
(Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak
tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah
pembunuhan keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa
ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara
kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik
belaka dari Soekarno mengenai revolusi.
Jangankan Soekarno, bagi Brigjen
Soepardjo maupun Kolonel Latief pun hal itu diluar dugaan. Perintah yang
menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada
Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah
sebagai pilihan utama. Namun dalam persidangan Mahmilub atas dirinya,
Letnan Kolonel Untung membantah dan mengaku ia hanya bermaksud menangkap
dan menghadapkan para jenderal kepada Pemimpin Besar Revolusi,
Soekarno. Sang Letnan Kolonel menunjuk anggota Biro Khusus (
Biro Chusus) PKI Sjam Kamaruzzaman sebagai pemberi perintah eksekusi.
LETNAN Jenderal Ahmad Yani
pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana
penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang
dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan
itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang
satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan
rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup
memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan
CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.
Siang 30 September 1965 itu, Letnan
Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya,
seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan
kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam
Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta
telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang
perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam
beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima
laporan bahwa semuanya telah diatur.
Sikap gembiranya pada siang hari, tak
bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita
‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia
mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun
sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru
itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Menurut salah
satu mantan ajudan Presiden Soekarno, RH Sugandhi –dalam suatu
percakapan bersama Drs Ton Kertapati dan Rum Aly di tahun 1987– ada yang
menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari
Presiden Soekarno sendiri.
DIPA Nusantara Aidit, Ketua
CC PKI, mengetahui adanya rencana ‘gerakan internal Angkatan Darat’ yang
melibatkan Letnan Kolonel Untung Sjamsuri dan kawan-kawan. Ia siap
untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis
pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu
menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam, yang diketahuinya ikut berperan
untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak
khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen
Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak
memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului.
Dalam rangka mendahului, sepanjang
informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan
melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu
menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan
sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar
Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno.
Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak
dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.
Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri,
betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya
perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan
politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan
untuk momentum tanggal 30 September 1965, melainkan untuk sesuatu yang
lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini
diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri. Ia juga
menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana
sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata.
Adanya rencana ini antara lain diungkapkan Ismail Bakri kepada aktivis
1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada
tahun 1978.
JENDERAL Abdul Harris
Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal
30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya
sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup.
Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun
mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada
tanggal 30 September 1965. Sayangnya, laporan-laporan spesifik seperti
yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita
misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar
Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto.
Sebagai salah satu sasaran, Jenderal AH
Nasution sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu.
Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan
adanya Letnan Pierre Tendean. Meskipun, juga punya titik lemah, yakni
fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando
Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam
gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu
penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar
dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.
LAKSAMANA Madya Udara Omar
Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai
beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh
persoalan sebagai satu proses internal Angkatan Darat, untuk menindaki
apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang
tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak
campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti
apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait
dengan rivalitas antar angkatan kala itu.
Namun, sadar atau tidak, terjadi
keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor
Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan
senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah
keikutsertaan tersebut. Selain itu,
locus delicti ada di
sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya
termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara,
karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.
BAGAIMANA caranya memahami
posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto
adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang
akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal
koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan
informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan,
yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan
informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada
pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal
Ahmad Yani.
Dengan bekal informasi yang cukup detail
itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan
pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya
kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa.
Sikap dan perilaku Soeharto dalam
peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka
bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang
menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian
peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga
diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah
menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.
“Aidit menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu
‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung”. “Bukanlah sesuatu yang luar
biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai
salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa”.
TUJUH hari terakhir bulan September 1965 sebenarnya terisi dengan hal-hal tak
menyenangkan. Seakan ada ‘awan panas’ menggantung di langit Jakarta.
Banyak tokoh dalam kekuasaan negara dan politik, merasakan suasana tak
enak itu. Mereka mengetahui banyak hal yang berbahaya, berdasarkan
sejumlah informasi yang sebenarnya sudah mereka terima jauh hari
sebelumnya. Dan dalam keadaan demikian semestinya banyak hal baik yang
bisa dan perlu dilakukan bila mengetahui sesuatu, untuk keselamatan
negara, namun justru tidak dilakukan. Untuk sebagian, seakan naluri dan
kemampuan analisa sedang tumpul, sedang untuk sebagian lainnya yang
tumpul adalah hati nurani dan lebih suka ‘menunggu’ demi kepentingan
tertentu. Atau, di satu pihak memang terlibat dalam perencanaan
tertentu, dan pada pihak lainnya menanti namun mempersiapkan gerak
antisipasi, dalam satu bingkai pertarungan kekuasaan.
Sebagian terbesar rakyat yang kala itu
telah sangat menderita dalam himpitan ekonomi, oleh kenaikan harga-harga
kebutuhan sehari-hari yang meluncur ke atas karena inflasi yang tak
terkendali, takkan mungkin punya waktu untuk memahami situasi. Sementara
itu, pada waktu yang bersamaan, sebagian rakyat lainnya pada satu sisi
termobilisasi oleh para pemimpinnya dalam gerakan-gerakan ‘revolusioner’
untuk menekan ‘lawan’, sedang pada sisi lain adalah mereka yang ada
dalam tekanan kuat penganiayaan politik tersebut.
Agaknya, sejarah
sedang mencari dan menemukan jalannya sendiri saat itu menuju pintu
malapetaka.
ADVERTISEMENT
Menteri
Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, hari Selasa 28
September 1965, menyempatkan diri memberikan ceramah –sebenarnya lebih
menyerupai suatu
briefing – di hadapan ibu-ibu anggota Persit
(Persatuan Isteri Tentara). Tidak seperti pada ceramah-ceramah
sebelumnya, kali ini Jenderal Yani, memberikan informasi yang lebih
mendalam tentang perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan saat itu.
Dengan ceramah itu, para isteri perwira tinggi dan perwira teras
lainnya, dapat mengetahui tentang meningkatnya suhu ketegangan politik
“akhir-akhir ini” terkait dengan tuduhan-tuduhan kelompok politik kiri
terhadap Angkatan Darat yang dituding “bersikap melawan” terhadap
Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Bahkan, lebih dari sekedar melawan, para jenderal dituduh mempersiapkan
suatu pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno.
Bersamaan
dengan itu, kaum kiri melontarkan pernyataan-pernyataan provokatif
dengan suatu pengibaratan tentang Ibu Pertiwi yang sedang hamil tua.
Pengibaratan hamil tua itu sendiri bisa menimbulkan tafsiran berbeda,
bayi apa yang akan dilahirkan nanti? Tersirat pula kekuatiran tentang
lebih percayanya Presiden kepada partai-partai kiri daripada ke Angkatan
Darat.
Siti Suhartinah Soeharto –isteri Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad)– mengaku bahwa sebelumnya ia tidak begitu
mengerti mengenai keadaan negara waktu itu. “Saya baru mengerti setelah
pak Yani memberikan ceramah. Pak Yani menceritakan berbagai hal tentang
keadaan negara kita. Jadi, saya merasa terkejut waktu itu. Sebagai
isteri tentara, saya belum pernah di
briefing mengenai politik
yang bergejolak di negara kita. Dan suami saya pun tidak pernah memberi
penjelasan seperti itu” tuturnya kepada Sarwono Kusumaatmadja dan Rum
Aly 10 Maret 1986 di Cendana.
Ceramah Letnan Jenderal Ahmad Yani yang
sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan di kalangan
keluarga tentara, secara umum ternyata juga menimbulkan kecemasan
tertentu di kalangan para isteri perwira. Apalagi pada waktu itu
beberapa isteri perwira sedikit banyaknya sudah mendengar dari para
suami maupun dalam percakapan sesama mereka, suatu desas-desus tentang
adanya rencana penculikan atas diri sejumlah perwira tinggi.
Kekuatiran
para isteri ini, diperkuat oleh adanya penawaran dari Markas Besar
Angkatan Darat untuk menambah pengawalan di rumah kediaman para perwira
tinggi yang sudah ada pengawalannya, dan memberi pengawalan bagi mereka
yang selama ini belum dikawal. Sebagian perwira menerima tawaran ini,
tetapi sebagian lainnya lagi merasa tidak memerlukannya. Letnan Jenderal
Yani, termasuk yang menolak penambahan pengawalan. Sementara itu,
perwira teras lainnya yang menolak tawaran pengawalan di rumahnya, di
antaranya adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono,
Mayjen Soewondo Parman, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan dan Brigjen
Soetojo Siswomihardjo.
Di meja Jenderal Ahmad Yani pada sekitar
hari-hari itu telah bertumpuk sejumlah laporan intelijen, baik mengenai
ucapan-ucapan yang bernada ofensif dan insinuatif dari sejumlah tokoh
PKI maupun mengenai adanya rencana-rencana gerakan tertentu, berjalan
dua arah, yang menghendaki perubahan kekuasaan.
Secara khusus, ada
gerakan-gerakan yang ditujukan kepada para pimpinan Angkatan Darat,
bersamaan dengan tuduhan bahwa para jenderal ingin mengambilalih
kekuasaan negara dari Soekarno. Ahmad Yani sudah tahu gambaran situasi
setidaknya pada dua bulan terakhir, yang bermula dengan kabar terjadinya
gangguan serius kesehatan Bung Karno sejak Agustus.
Kabar tentang
kesehatan Soekarno yang memburuk ini, sebenarnya agak di
blow up,
tetapi cukup menarik bahwa justru gambaran buruk tentang kesehatan
Soekarno itu dibiarkan beredar oleh semua pihak tanpa penjelasan apa pun
dari pihak mana pun tentang keadaan sesungguhnya. Bahkan, terkesan
silang informasi tentang memburuknya kesehatan Bung Karno itu
‘dipelihara’ oleh lebih dari satu pihak untuk kepentingannya
masing-masing.
Terlepas dari isu soal kesehatan
Soekarno, Letnan Jenderal Ahmad Yani yang memperkirakan bahwa Soekarno
belakangan boleh jadi kurang menyenangi dirinya karena penolakannya
terhadap ide Angkatan Kelima –yang dikonotasikan sebagai mempersenjatai
kaum buruh dan tani– merasa masih akan bisa meyakinkan Soekarno bahwa ia
tetap loyal kepada sang pemimpin besar.
Ini terbukti kemudian, ketika
Kamis malam 30 September 1965, saat Brigadir Jenderal RH Sugandhi
menelepon menyampaikan suatu laporan ‘unik’ kepada dirinya.
Sugandhi
adalah bekas pengawal Presiden Soekarno sejak masih perwira muda berusia
23 tahun dan kemudian diangkat sebagai ajudan Presiden hingga tahun
1960. Seluruhnya ia mendampingi Soekarno hampir lima belas tahun
lamanya, sehingga kedekatannya dengan sang pemimpin tak diragukan lagi.
Pada tahun 1965 itu Sugandhi ‘bertugas’ sebagai anggota DPRGR/MPRS,
sejak pengangkatannya di tahun 1963. Selain itu ia memimpin sebuah koran
milik Angkatan Bersenjata dengan nama serupa, disamping sebagai Kepala
Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata.
Di kamar tidur Soekarno. Sebelum
melapor kepada Jenderal Yani, pagi hari 30 September itu Sugandhi telah
bertemu dengan Soekarno dan diterima di ruang duduk kamar tidur sang
Presiden. Masuk ke ruang tidur Soekarno sekalipun bukan lagi hal yang
luar biasa bagi Sugandhi, karena sebagai mantan pengawal dan ajudan
selama belasan tahun, telah terjalin keakraban, dan ia kerap pula
menjalankan tugas-tugas tertentu dalam kehidupan pribadi yang khusus
dari sang Presiden –di luar urusan kenegaraan– termasuk di malam hari.
Karena tugas-tugas pribadi yang khusus seperti itu pulalah Sugandhi,
seperti halnya kemudian Brigjen Sabur dan yang lain-lain, memiliki
keakraban dan keleluasaan khusus pula dengan sang Presiden. Apalagi sang
Presiden bukanlah seorang yang terlalu menutupi hal-hal pribadinya yang
semestinya amat khusus itu.
Kendati tidak lagi bertugas sebagai ajudan,
Sugandhi tetap cukup sering bertemu dengan Soekarno, baik karena ia
memang memelihara hubungan itu, maupun karena ia pun kerap dipanggil
Soekarno untuk berbagai keperluan yang kebanyakan berkategori ‘
tetek bengek’ di luar urusan kenegaraan.
Sebelumnya lagi, Senin 27 September
1965, Brigjen Sugandhi berpapasan di Istana dengan Ir Sudisman
Sekertaris Jenderal CC PKI. Dengan sedikit sengaja –ini suatu hal yang
menarik dan bagi banyak orang bisa menimbulkan tanda tanya– menjawab
pertanyaan Sugandhi tentang peningkatan gerak offensif revolusioner PKI,
Sudisman menyampaikan kepada Sugandhi bahwa dalam waktu dekat PKI akan
memberikan ‘pukulan’ sebagai pelajaran terhadap para pimpinan Angkatan
Darat.
Sudisman sekaligus mengajak Sugandhi untuk ikut saja dalam
gerakan memberi pelajaran itu, karena ia adalah orang yang tergolong
dekat Presiden dan Soekarno sendiri telah menyetujui Angkatan Darat
diberi pelajaran.
Dipa Nusantara Aidit Ketua Umum PKI yang beberapa saat
kemudian juga muncul di tempat itu, memperkuat dan mengulangi
penyampaian Sudisman. Ketika Sugandhi menggunakan istilah
coup
menanggapi rencana ‘pemberian pelajaran’ itu, Aidit menyergah, agar
Sugandhi jangan mengunakan istilah ‘jahat’ seperti itu.
Sugandhi
memerlukan sekitar 72 jam lamanya untuk memikirkan, mencerna dan
menafsirkan penyampaian
by accident Sudisman dan Aidit
ini. Sebenarnya, bagi Sugandhi bukan hal yang terlalu luar biasa bila
tokoh-tokoh puncak PKI itu melontarkan ucapan-ucapan provokatif seperti
itu, khususnya mengenai Angkatan Darat, kepada dirinya. Lebih dari
sekali, bila bertemu dengan dirinya di istana, mereka melakukan hal
serupa mengenai apa saja yang bernada mengejek mengenai Angkatan Darat,
termasuk mengenai gaya hidup ‘burjuis’ para jenderal Angkatan Darat.
Pernah pula para tokoh PKI itu menyindir perilaku asmara beberapa
jenderal pimpinan AD itu di depan Sugandhi. Namun, ketika Sugandhi
mengingatkan jangan bicara soal asmara seperti itu di Istana, nanti
‘Bapak’ –maksudnya, Presiden Soekarno– ikut tersinggung kalau mendengar,
para tokoh PKI itu segera diam. Tapi asmara rupanya tidak kenal
ideologi, karena tokoh PKI Nyoto pun saat itu sedang dilanda asmara,
punya hubungan khusus dengan seorang wanita Rusia yang bekerja di
Kedutaan Besar RI di Moskow, sehingga Aidit merasa perlu menegurnya.
Jadi, ‘bercanda’ seperti yang terjadi di istana Senin 27 September itu,
atau apapun namanya, termasuk biasa bagi Sugandhi dan para tokoh
pengunjung Istana tersebut. Terlebih-lebih bila itu menyangkut Sudisman
yang memang agak ‘akrab’ –karena sering bertemu dengan Sugandhi di
Istana atau berbagai acara lainnya– dan dianggap Sugandhi mulutnya ‘
gatelan’.
Sebenarnya, Laksamana Madya Udara Omar Dhani, Menteri Panglima Angkatan
Udara, pun tak luput menjadi sasaran Sudisman. Omar Dhani yang ganteng
itu dianggapnya lebih cocok jadi bintang film saja daripada jadi
Panglima, “untungnya, masih berjiwa progresif revolusioner”. Karena
seringnya mendengar ‘ejekan’ Sudisman, Sugandhi pun tak segan-segan
‘menyerang’ balik, seperti pada 27 September itu. “Kalian akan digulung
dan ditumpas Angkatan Darat, kalau berani”.
Sugandhi dalam batas
tertentu sebenarnya masih menganggap ‘ejek-mengejek’ itu cukup biasa,
setengah bercanda setengah serius dalam lingkup batas di antara dua
orang yang sudah lama saling kenal –karena sama-sama ada di sekitar
Soekarno– yang ‘serupa’ tapi tak sama posisi pijaknya.
Meskipun demikian, setelah kurang lebih
72 jam, Sugandhi merasa perlu juga menyampaikan ucapan Sudisman dan
Aidit itu kepada Bung Karno, di kamar tidur sang Presiden pada pagi hari
30 September 1965 itu. Soekarno dengan nada yang dianggap ‘sok marah’
oleh Sugandhi, menegurnya untuk tidak usah mencampuri urusan tingkat
tinggi seperti itu, apalagi ketika Sugandhi menyampaikan bahwa Yani itu
loyal kepada Panglima Tertinggi. Soekarno menyatakan, hanya mau memberi
sedikit pelajaran kepada Yani yang belakangan suka membandel terhadap
dirinya. Soekarno juga mengatakan, besok akan ‘menegur’ Yani.
PKI itu,
kata Soekarno, bisa diaturnya. Tapi lama-lama, bapak yang diatur mereka,
jawab Sugandhi yang membuat Soekarno menghardiknya untuk diam dan
segera pergi kalau tak mau ditempeleng sampai pingsan. Ucapan seperti ‘
ta tempeleng kowe’ dari Soekarno merupakan ucapan yang sudah akrab bagi telinga Sugandhi.
KETIKA melapor kepada Ahmad Yani,
beberapa jam kemudian pada hari Kamis petang 30 September 1965 itu,
selain menyampaikan laporan pertemuannya dengan Sudisman dan Aidit tiga
hari sebelumnya, Sugandhi juga menyampaikan pembicaraannya dengan
Soekarno pagi itu. Siangnya Sugandhi sebenarnya berusaha bertemu
langsung dengan Ahmad Yani, tapi tidak berhasil karena Yani ada acara di
luar Markas Besar AD, sehingga malamnya barulah ia bisa melapor dan itu
hanya per telepon. Itupun, pada mulanya telepon Sugandhi hanya
ditampung oleh ajudan, karena Yani sedang menerima tamu, Mayjen Basoeki
Rachmat.
Di kalangan kolega dan atasan, Sugandhi dikenal sebagai seorang
yang banyak humor. Kedekatannya secara pribadi dengan Soekarno
diketahui dengan baik oleh para kolega dan atasan, termasuk Yani.
Meskipun kerap ‘usilan’ dan ‘bandel’ ia termasuk disayangi oleh
Soekarno. Apakah pengenalan Yani terhadap Sugandhi itu, mempengaruhi
daya dan cara cerna Yani terhadap apa yang disampaikan Sugandhi ?
SOEKARNO-OMAR
DHANI-AHMAD YANI. “..saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno
takkan sepenuhnya termakan insinuasi mengenai dirinya, dan masih
meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengendalikan PKI” (Repro).
Menurut Sugandhi, saat itu Yani masih
meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi PKI
mengenai dirinya, dan meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup
mengendalikan PKI. Bahwa Soekarno akan menegur atau mendamprat dirinya,
Yani sudah tahu dan siap, karena ia sudah mendapat pemberitahuan dari
istana untuk menghadap Panglima Tertinggi Jumat pagi 1 Oktober 1965.
Pemberitahuan disampaikan oleh Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah
satu ajudan Presiden. Perlu dicatat bahwa secara samar-samar, sebenarnya
Yani telah pula mendengar informasi bahwa ada kemungkinan Soekarno akan
mencopotnya dari jabatan Menteri/Pangad. Dan sebuah informasi amat
rahasia yang juga diterima Yani, bahwa setelah itu ia akan ‘dilempar’ ke
atas, meskipun belum jelas ke sebelah mana. Apakah akan mengulangi pola
mutasi sebelumnya, sekali lagi akan menggantikan posisi Abdul Harris
Nasution, namun dalam kadar kewenangan lebih lemah ? Menurut Drs Achadi,
salah seorang menteri dalam kabinet Soekarno, Yani akan diangkat
menjadi Waperdam IV suatu posisi baru yang diciptakan Soekarno khusus
untuk Achmad Yani.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan
pembicaraan per telepon dengan Yani, saat itu Sugandhi mendapat kesan,
rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan
Soekarno. Tentang ucapan-ucapan Sudisman dan Aidit yang katanya akan
memukul dan memberi pelajaran pada para pimpinan Angkatan Darat,
dinyatakan Yani sebagai provokasi dan pancingan.
Untuk apa? Agar
Angkatan Darat mengambil tindakan terhadap PKI untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai momentum mendiskreditkan Angkatan Darat dan
dipersalahkan Soekarno.
Meskipun pada mulanya Sugandhi pun tidak punya
pikiran ‘berat’ mengenai ucapan Sudisman dan Aidit, tanggapan Yani
mengenai hal itu, lagi-lagi dianggap Sugandhi sebagai tanda terlalu
percaya diri. Tapi tentu saja tak ada lagi yang bisa lebih jauh
dilakukannya atas sikap sang Panglima Angkatan Darat itu.
Dengan
Sugandhi petang itu, Yani tak menyinggung telah adanya laporan-laporan
intelijen mengenai rencana-rencana gerakan dalam waktu dekat, dari pihak
PKI misalnya, meskipun Yani dengan nada biasa saja sempat mengatakan
“kita harus berhati-hati” terhadap PKI dan kawan-kawannya yang
mengelilingi Pemimpin Besar Revolusi.
Padahal, di antara laporan
intelijen yang disampaikan Asisten I Intelijen Mayor Jenderal Soewondo
Parman beberapa waktu sebelumnya, ada satu bagian yang semestinya
berkategori sangat penting, yakni rencana suatu gerakan, yang
D–
Daynya
adalah tanggal 19 atau 20 September 1965, didorongkan oleh PKI untuk
mengeliminasi sejumlah perwira teras Angkatan Darat. Adalah menarik,
bahwa dalam daftar tersebut tercantum pula nama Mayjen Soeharto, Mayjen
Mursjid dan Brigjen Sukendro –yang kemudian ternyata tak disentuh sama
sekali.
Sebenarnya, bagi Yani laporan Sugandhi
pada 30 September 1965 itu, adalah laporan yang sepenuhnya ‘basi’,
karena bahkan laporan Suwondo Parman yang menyebutkan D-Day 18 atau 20
September telah berlalu sepuluh hari tanpa ada kejadian apa pun.
Sedangkan laporan Sugandhi, secara objektif bisa saja dianggap kurang
masuk akal, karena apakah Sudisman dan Aidit bisa begitu naif
menyampaikan rencana gerakan mereka begitu saja?
Lagipula, terminologi
dalam ‘dua-tiga hari ini’ yang disampaikan Sugandhi itu, jauh lebih
tidak definitif tentang
timing dibandingkan laporan Asisten
Intelijen, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Asisten intelijen ini juga
sempat melaporkan desas-desus tentang rencana penculikan sejumlah
jenderal. Soewondo Parman menerima laporan ini antara lain dari Brigjen
Yoga Soegama, perwira yang ditarik Pangkostrad Soeharto dari pos atase
pertahanan Kedutaan Besar RI di Beograd Jugoslavia.
Mayor Jenderal
Soewondo Parman, yang meminta dukungan bukti dari laporan Yoga itu,
menganjurkan Yoga untuk mencari bukti setelah Yoga menyatakan belum
punya bukti. Yoga menjanjikan akan menyelidiki lebih jauh. Tapi
sepanjang yang dapat dicatat, tidak lagi pernah kembali melapor kepada
S. Parman membawa bukti-bukti, sampai penculikan ternyata betul-betul
terjadi 1 Oktober 1965 dinihari.
Selain memberi informasi, justru menurut Soebandrio dalam memoarnya (‘
Kesaksianku tentang G30S’,
2000) Yoga juga menyampaikan pesan Soeharto agar Soewondo Parman untuk
berhati-hati sehubungan dengan isu penculikan. Terhadap penyampaian
pesan ini, Soebandrio memberikan konotasi tertentu terkait dengan
analisa pribadinya mengenai adanya peranan khusus Mayjen Soeharto dalam
terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Soebandrio menggambarkan adanya
klik khusus yang terdiri dari tiga perwira eks Diponegoro, terdiri dari
Mayjen Soeharto, Brigjen Yoga Soegama dan Kolonel Ali Moertopo.
Mereka
ini sejak awal telah ‘bergiat’ dalam pengaturan posisi dan kepentingan
khusus dalam kekuasaan, yang bermula antara lain dalam soal jabatan
Panglima Kodam Diponegoro, beberapa tahun yang lalu.
Beberapa waktu sebelumnya, dalam suatu
pertemuan langsung dengan Sugandhi, Yani juga sempat menyampaikan dengan
nada serius –lebih tepatnya menyampaikan kejengkelan– tentang adanya
perwira-perwira Angkatan Darat yang mencantelkan diri ke mana-mana,
termasuk ke partai-partai politik, seperti pada PKI misalnya, karena
ambisi pribadi.
Termasuk yang mengincar jabatan Menteri Panglima
Angkatan Darat.
Dalam bahasa Jawa, Yani menyampaikan juga agar Sugandhi
jangan seperti beberapa perwira yang kebetulan bisa dekat ke Panglima
Tertinggi, lalu menjelek-jelekkan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan
bisa mendapat tempat. Waktu itu, Yani sempat menyebut beberapa nama.
Posisi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam
rangka pertarungan kekuasaan di seputar Soekarno kala itu, posisi
pimpinan Angkatan Darat memang merupakan salah satu sasaran incaran,
baik berdasarkan strategi politik, maupun perkawinan kepentingan politik
dengan ambisi pribadi.
Terkait nama Soeharto, menurut penuturan Siti
Suhartinah Soeharto, pernah ada –lebih dari sekali, dengan cara yang
berbeda-beda– yang menyampaikan semacam ‘pancingan’, “bagaimana kalau
pak Harto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat?”.
Itu,
karena sebagai Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto selalu mewakili
Menteri Pangad dalam berbagai acara, bilamana Yani berhalangan.
Pelantikan Brigjen Soemitro sebagai Panglima Mulawarman Februari tahun
1965 di Kalimantan Timur umpamanya, dilakukan Mayjen Soeharto mewakili
Menteri Panglima Angkatan Darat.
“Itu kami anggap tidak mungkin, pak
Yani kan masih ada”, demikian ibu Tien, “dan apa dikira menjadi Pangad
itu gampang ? Saya sendiri, sebagai isteri, terus terang merasa tidak
sanggup. Saya sudah merasakan setiap kali pak Yani pergi, pak Harto itu
mewakili, sehingga saya pun ikut menjalani sebagai pendamping wakil
Pangad”.
Sebenarnya, memang ada semacam tata cara yang merupakan
kebiasaan dan disepakati, antara Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan Mayor
Jenderal Soeharto, bahwa dalam keadaan tertentu bila Menteri Pangad
berhalangan maka Panglima Kostrad –dahulu Kostrad dikenal sebagai
Tjaduad,
Cadangan Umum AD– yang akan mewakili sebagai pimpinan Angkatan Darat.
Suatu kebiasaan yang merupakan kelanjutan kebiasaan masa masih
berlakunya SOB.
Presiden Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahwa
kemudian, dalam konteks tersebut Soeharto kerap disebut-sebut sebagai
pengganti Yani kelak, tentulah tidak mengherankan. Selain itu, beberapa
jenderal AD lainnya merasa bisa membaca ‘bahasa tubuh’ Soeharto dan
menyimpulkan bahwa keinginan seperti itu ada juga pada diri Soeharto
betapa pun samarnya.
Sebenarnya, Mayor Jenderal Soeharto adalah seorang
yang tak mudah ‘dibaca’, apalagi dengan sekedar melihat ekspresi
wajahnya dan atau sekedar berdasarkan ucapannya secara harfiah.
Namun, di samping nama Soeharto, sampai
September 1965 itu, beredar pula sejumlah nama yang disebut-sebut
sebagai calon kuat untuk menjadi Menteri Panglima AD, terutama karena
kedekatan secara pribadi dan langsung dengan Soekarno, ataupun karena
‘dukungan’ kekuatan politik aktual.
Beberapa tokoh PKI berkali-kali
menyampaikan nama Mayor Jenderal Pranoto sebagai kandidat. Sementara itu
Soekarno sendiri pernah berbicara dengan nada menjanjikan jabatan
Menteri Panglima AD itu kepada beberapa jenderal yang memegang komando,
di antaranya yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie
yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, salah satu
divisi terkemuka dan paling diperhitungkan kala itu. Nama Gatot
Soebroto, yang pernah jadi Wakil Kasad, yang punya kedekatan khusus
dengan Soekarno, jauh hari sebelumnya juga pernah disebut-sebut.
Hanya
saja, Letnan Jenderal Gatot Soebroto meninggal tahun 1962. Tapi
menjelang akhir September 1965, muncul nama ‘baru’, ketika beredar kuat
berita bahwa Soekarno akan mengangkat Mayor Jenderal Mursjid sebagai
Menteri Pangad yang baru dan hal itu akan disampaikan Soekarno kepada
Yani yang menurut jadwal menghadap pada 1 Oktober pagi.
Nama-nama yang disebut sebagai calon
pengganti Yani, pada umumnya diketahui tidak punya kedekatan dengan
Yani, untuk tidak secara terbuka menyebutnya sebagai rival Yani selama
beberapa tahun terakhir. Mayor Jenderal Soeharto misalnya, tak punya
faktor kedekatan subjektif dengan Yani, kecuali kedekatan objektif yang
semata-mata dalam kerangka masalah kedinasan. Bahkan diantara kedua
jenderal itu ada ganjalan yang berasal dari masa lampau.
Tatkala
menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto terlibat kasus
yang dinilai sebagai penyimpangan –barter gula dengan beras ke
Singapura– yang dilakukan bersama pengusaha Liem Soei Liong dan Bob
Hasan.
Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter
adalah untuk membiayai beberapa kebutuhan Kodam, antara lain untuk
kesejahteraan prajurit, tetapi laporan dari beberapa perwira bawahannya
menyatakan tidak demikian.
Yani yang waktu itu menjadi salah satu
Asisten Kasad, amat marah dan mengusulkan kepada Kasad Nasution agar
Soeharto dipecat. Bahkan Yani digambarkan sempat melakukan sentuhan
fisik. Pemecatan urung, padahal naskah Surat Keputusan itu –yang
diajukan Kasad Nasution– sudah di meja Presiden Soekarno, karena Wakil
Kasad Mayjen Gatot Soebroto maju membela Soeharto dan menyatakan
Soeharto masih bisa dibina.
Nyonya Siti Suhartinah dikabarkan ikut
‘berjuang’, menemui Gatot Soebroto memohon bantuan untuk menyelamatkan
karir suaminya, dan berhasil. Soeharto hanya harus melepaskan
jabatannya sebagai Panglima Diponegoro dan masuk pendidikan di Sekolah
Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung, yang kala itu dipimpin
Brigjen (kemudian, Mayjen) Soewarto.
Pranoto dan Mursjid, yang juga
disebutkan namanya untuk posisi Panglima AD, jelas ada pada posisi dan
‘aspirasi politik’ yang berseberangan dengan Yani.
Sedangkan menyangkut
Ibrahim Adjie, situasinya tak terlepas dari rivalitas yang cukup kuat di
antara tiga divisi terkemuka di pulau Jawa –bahkan di seluruh
Indonesia– yakni Siliwangi-Diponegoro-Brawidjaja, meskipun umumnya
berlangsung di bawah permukaan.
Tapi pada tahun 1963-1964 sampai
pertengahan 1965, Siliwangi sedang di atas angin karena keberhasilannya
dalam mengakhiri pemberontakan DI-TII berturut-turut di Jawa Barat dan
kemudian Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat Kartosoewirjo tertangkap dan di
Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar disergap dan tertembak mati 4 Pebruari
1965. Bahkan atas instruksi Soekarno kepada Yani, Divisi Siliwangi
diberikan penghargaan Sam Karya Nugraha, yang penyerahannya dilakukan di
Bandung 25 Agustus 1965.
SEHARI setelah Siti Suhartinah Soeharto
mengikuti ceramah Menteri Panglima Angkatan Darat di depan para anggota
Persit, yakni Rabu 29 September 1965, putera Jenderal Soeharto, Tommy,
terpaksa masuk Rumah Sakit Pusat AD, karena tersiram sup panas.
Kamis
malam, 30 September 1965, menurut ibu Tien, “pak Harto ada di rumah
sakit ikut menunggui Tommy”. Sewaktu berada di RSPAD itu sekitar pukul
22.00 malam, Komandan Brigade Infantri I Kodam Jaya, Kolonel Latief
datang menemui Soeharto.
Ini adalah yang ketiga kali Latief menemui
Soeharto pada hari-hari penghujung September 1965 itu. Yang kedua,
Latief yang cukup kenal baik dengan Soeharto dan keluarga datang
berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Sabang (kini Jalan Haji Agus
Salim) Jakarta Pusat pada tanggal 29 September. Latief yang datang
bersama keluarganya, sempat menyinggung mengenai isu adanya Dewan
Jenderal yang akan mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden
Soekarno.
Soeharto mengatakan kepada Latief bahwa ia juga telah
mendengar hal tersebut dari bekas anakbuahnya di Yogya dulu, Subagyo.
Dengan nada yang datar dan biasa saja, Soeharto mengatakan bahwa
kebenaran berita itu masih harus diselidiki lebih dulu.
ADVERTISEMENT
Latief
yang ingin menyampaikan beberapa informasi ‘penting’ dalam rangka
menjajagi lebih jauh bagaimana sikap Soeharto terhadap pimpinan AD kala
itu, mengurungkan niatnya karena bukan hanya dia tamu yang ada di
kediaman Soeharto waktu itu. Pembicaraan beralih ke berbagai soal lain
yang lebih bersifat pribadi dan kekeluargaan.
Namun dalam pertemuan di
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat malam esoknya, menurut Latief, terjalin
pembicaraan hampir satu jam lamanya. Kepada Soeharto, Latief
menyampaikan apa yang akan terjadi dalam beberapa jam lagi malam itu,
tentang suatu gerakan untuk menindaki sejumlah pimpinan Angkatan Darat.
Sebenarnya, pada pertengahan September, Latief juga pernah menemui
Soeharto membicarakan isu Dewan Jenderal, dan Latief pun sudah
membayangkan adanya rencana untuk menghadapi Dewan Jenderal itu.
Sudah
sejak pembicaraan pertama itu, Latief merasa ada dukungan dari Soeharto.
Bahkan menurutnya, Soeharto menjanjikan dukungan pasukan. Pengungkapan
Latief mengenai peran Soeharto, belakangan dilakukan berkali-kali, baik
melalui bukunya maupun wawancara dengan media pers pada tahun-tahun
terakhir sebelum meninggal di tahun 2005. Soeharto umumnya tak
memberikan tanggapan, kecuali ‘sedikit’ dalam memoarnya dan satu
wawancara dengan wartawan
Der Spiegel.
Suatu peran ganda? Dari
pertemuan Latief dengan Soeharto itu, Latief menyimpulkan bahwa
Soeharto –berbeda dengan pertemuan pertama– tidak lagi terbuka
menyatakan ‘menyetujui’ dan dengan demikian tak akan bergabung secara
nyata dengan gerakan yang akan dilakukan Brigadir Jenderal Soepardjo dan
Kolonel Latief melawan pimpinan Angkatan Darat.
Namun pada pihak lain,
Soeharto takkan menghalangi, dengan pertimbangan bahwa penindakan
sebatas pendisiplinan para jenderal Angkatan Darat itu telah diketahui
dan direstui Soekarno, dan Soeharto tidak ‘ingin’ melawan Soekarno untuk
saat itu.
Tapi, itu adalah penafsiran Latief sendiri terhadap sikap
Soeharto yang banyak diam dan sesekali hanya mengangguk-angguk, dan
Latief menyimpulkan takkan ada masalah dari Soeharto, kecuali ia ini
kini lebih bersikap hati-hati. Tapi, jelas bahwa minimal Soeharto akan
bersikap netral.
Faktanya, sudah terjadi kontak khusus dengan dua
batalion, yang akan mendukung ‘gerakan internal’ Angkatan Darat, yang
datang ke Jakarta berdasarkan radiogram Pangkostrad. Ini dianggap Latief
sudah sesuai dengan janji dukungan pasukan yang dikemukakan Soeharto
dalam pertemuan pertengahan September. Dikemudian hari Soeharto sendiri
tetap tak pernah terbuka mengungkapkan apa sebenarnya isi pembicaraannya
selama hampir 60 menit dengan Kolonel Latief, tetapi kemudian
menyampaikan suatu versi lain. Dalam wawancara dengan
Der Spiegel, Soeharto mengatakan Latief justru ingin membunuhnya, tapi oleh banyak pihak, hal itu dianggap tidak masuk akal.
Memang menjadi pula tanda tanya, kenapa
Mayjen Soeharto yang begitu banyak menampung informasi dan tanda-tanda
akan adanya bahaya atas diri sejumlah pimpinan Angkatan Darat, tidak
merasa perlu memberitahu kolega-koleganya, terutama kepada Letnan
Jenderal Ahmad Yani atasannya.
Di kemudian hari, ini menjadi titik lemah
yang dijadikan dasar analisa mengenai suatu peran ganda yang dijalankan
Soeharto dalam peristiwa yang terjadi sekitar tanggal 30 September
1965.
Suatu peran ganda yang dianggap serupa polanya dengan yang
dijalankan Letnan Kolonel Soeharto dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yakni
peristiwa ‘perebutan’ kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Sjahrir yang
melibatkan Tan Malaka dan Mayjen Soedarsono atasan Soeharto.
Mayjen
Soedarsono yang merasa mendapat dukungan pasukan dari Soeharto,
ditangkap di istana ketika menghadap Soekarno untuk memberikan tekanan.
Soeharto dianggap sebagai orang yang menjebak Soedarsono, karena ia
terlebih dahulu mengirim surat ke istana tentang rencana kedatangan
Soedarsono seraya memberi jaminan bahwa Soedarsono akan diberikan
dukungan pasukan dari luar istana. Saat itu, pusat pemerintahan berada
di Yogyakarta.
Satu titik lemah lainnya mengenai
Soeharto, jelas adalah soal Batalion 530 dan Batalion 454, yang bisa
dikaitkan dengan janji Soeharto kepada Latief.
Tiga batalion yang
didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat ke ibukota di
akhir September dengan alasan ikut defile 5 Oktober 1965, dilakukan
berdasarkan perintah Soeharto.
Perintah itu disampaikan melalui
radiogram Pangkostrad tanggal 21 September 1965, disertai ‘catatan’
membawa perlengkapan tempur garis pertama, khususnya kepada Batalion 530
Brawidjaja dari Jawa Timur dan Batalion 454 Diponegoro dari Jawa Tengah.
Agaknya, Batalion 328 Siliwangi dari Jawa Barat tidak mendapat
‘catatan’ serupa, karena pimpinan batalion ini kemudian menyatakan
keheranan kenapa dua batalion lainnya dilengkapi dengan peluru tajam.
Pagi hari 30 September, Pangkostrad Mayjen Soeharto sempat melakukan
inspeksi atas ketiga batalion ini. Batalion 530 dan 454 ini kemudian
tercatat ‘keterlibatan’nya dalam Peristiwa 30 September 1965.
Malam
harinya, pimpinan kedua batalion ini melakukan briefing khusus kepada
para komandan peleton ke atas, tentang adanya Dewan Jenderal yang
merencanakan kudeta kepada Presiden Soekarno (Nasution: 1987).
Selain soal dua batalion tersebut, dalam
analisa di kemudian hari Soeharto juga kerap dikaitkan namanya dalam
konotasi negatif dengan Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan
Brigadir Jenderal Soepardjo, berdasarkan fakta hubungan ‘historis’
dengan ketiganya.
Letnan Kolonel Untung dikenal Soeharto sejak menjadi
Komandan Resimen 15 di Solo, dan Untung adalah salah satu komandan kompi
di Batalion 444. Dalam Operasi Mandala pada masa Trikora, Untung juga
berada di bawah komandonya. Ketika Untung melangsungkan pernikahan di
pelosok Kebumen, Soeharto bersusahpayah untuk menghadirinya.
Latief
sementara itu adalah salah seorang perwira bawahan Soeharto semasa
menjadi Komandan Brigade 10 Wehrkreise III, dan ikut dalam Serangan Umum
1 Maret 1949 di Yogyakarta. Untung maupun Latief memiliki kedekatan
yang bersifat kekeluargaan dengan Soeharto. Soeharto juga sempat bertemu
secara terpisah baik dengan Untung maupun dengan Latief sekitar 15
September, dan keduanya membicarakan masalah yang sama, yakni mengenai
Dewan Jenderal. Letnan Kolonel Untung memastikan akan mendapat dukungan
pasukan dari Soeharto bila saatnya ia bergerak nanti.
Brigjen Soepardjo
pada tahun 1965, selaku Pangkopur II di Kalimantan pun ada di bawah
komando Pangkostrad, dan cukup kenal baik secara pribadi dengan
Soeharto.
Sebenarnya, cukup banyak perwira
Angkatan Darat selain Soeharto, atau Yoga Soegama, yang tahu banyak
tentang adanya sesuatu yang berpotensi bahaya terhadap negara, khususnya
terhadap pimpinan Angkatan Darat, namun tidak menindaklanjuti informasi
yang diterimanya itu, minimal dengan melaporkannya lagi ke atasan.
Tetapi di lain pihak, kalaupun melapor ke atasan, bisa terjadi justru
atasanlah yang tidak tanggap. Dua perwira, Kolonel Herman Sarens Sudiro
dan Kolonel Muskita misalnya, 28 September 1965 sempat melaporkan kepada
Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, adanya rencana
‘penjemputan paksa’ terhadap sejumlah jenderal yang dituduh anggota
Dewan Jenderal.
Tapi Panglima Kodam Jaya ini kurang tanggap, bahkan
balik menjawab “Tahu apa kalian?!”. Kedua perwira ini, sedikit
terhenyak. Karena tidak puas atas tanggapan Umar Wirahadikusumah, kedua
perwira itu menuju Markas Kostrad di Merdeka Timur untuk melapor kepada
Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menanggapi dengan lebih tenang, dan
kedua perwira itu mendapat kesan bahwa Panglima Kostrad itu tahu banyak,
melebihi mereka berdua. Tapi mereka berdua tidak tahu bagaimana tindak
lanjut yang akan dilakukan Soeharto.
Jangankan di Kodam Jaya, di tingkat
Mabes AD saja laporan serupa tidak mudah dipercayai. Pertengahan
September 1965, dalam rapat intelijen dipresentasikan hasil pengamatan
dan analisa terhadap kegiatan revolusioner PKI. Tapi laporan tertulis
itu, tampaknya terlambat satu langkah di belakang. Tidak terdapat suatu
informasi maupun prediksi mengenai adanya rencana makar dan yang
semacamnya tercantum di dalamnya, apalagi rencana penculikan terhadap
sejumlah jenderal sebagaimana yang isunya sudah ramai beredar.
Menurut
Jenderal Nasution, laporan yang lebih khusus disampaikan secara lisan
kepada Jenderal Yani, tidak tertulis, sehingga tak diketahui secara
terbuka oleh perwira lainnya. Maka, ketika MT Harjono mencoba
membahasnya dalam suatu rapat tanggal 30 September, sebagian terbesar
perwira tidak mempercayai kebenaran adanya rencana penculikan tersebut.
Belum lagi di kalangan angkatan lainnya, sikap tanggap juga sangat
terbatas, terutama karena asumsi bahwa kalaupun benar itu adalah masalah
internal Angkatan Darat.
SOEKARNO
KE HALIM DEKAT LUBANG BUAYA. “Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal
Nasution ini, adalah penempatan Soekarno pada posisi konspirasi,
sejajar dengan posisi PKI dalam peristiwa”. (Karikatur Harjadi S, 1966)
Khusus untuk situasi ini, terkait dengan
subjektivitas posisi Angkatan Darat maupun Staf Angkatan Bersenjata
waktu itu, Jenderal Nasution memberikan catatan berikut ini. “Cukup
banyak jenderal yang tahu tentang rencana atau persiapan PKI atau
tentang maksud Presiden terhadap kami, walaupun mungkin pengetahuan itu
tidak lengkap atau tidak menyeluruh, namun mereka tidak berbuat seperti
Brigadir Jenderal Sugandhi yang melaporkan pengetahuannya pada atasan.
Ternyata telah bolong-bolong kekompakan dan kesetiakawanan dalam TNI”.
Tetapi yang menarik dari catatan Jenderal Nasution ini, adalah
penempatan Soekarno pada posisi konspirasi, sejajar dengan posisi PKI
dalam peristiwa. Selain itu, pasca momentum, Jenderal Nasution secara
definitif menyebutkan bahwa Mayor Sujono, Letnan Kolonel Heru Atmodjo
bahkan Laksamana Madya Omar Dhani adalah perwira-perwira yang sudah
terbina oleh PKI. “Memang sejak KSAU Suryadarma, intel AURI dipimpin
oleh orang pro PKI, yakni Marsekal Siswadi”.
USAI bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel
Latief menghadiri rapat bersama Brigadir Jenderal Soepardjo, Letnan
Kolonel Untung dan lain-lain di Penas Cawang dekat Halim Perdanakusumah.
Sementara itu, setelah pertemuan dengan Latief, Soeharto masuk kembali
ke ruang perawatan Tommy, sekitar pukul 23.00. “Jam setengah satu malam,
saya minta pak Harto pulang saja”, tutur Siti Suhartinah Soeharto.
“Mulanya beliau tak mau. Tapi ketika ingat anak terkecil, Siti Hutami,
waktu itu baru satu tahun, sendirian di rumah, pak Harto mau pulang”.
Dalam penuturan Soeharto sendiri, ia memang akhirnya pulang sekitar
00.15 (jam dua belas malam lewat lima belas menit), disuruh isterinya
karena ingat Mamiek, anak perempuan bungsu keluarga itu. “Sesampai di
rumah saya berbaring dan bisa cepat tidur.
Tetapi kira-kira setengah
lima subuh tanggal 1 Oktober, saya kedatangan seorang
cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai melakukan
shooting
film. Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat”.
Dalam perjalanan pulang, Soeharto yang mengaku mengendarai sendiri
jipnya, melalui Markas Kostrad, melihat adanya satuan-satuan bersenjata
di sekitar Monas itu. Beberapa sumber menyebutkan Soeharto singgah di
Markas Kostrad Merdeka Timur, sebelum betul-betul pulang ke rumahnya
untuk beristirahat, dan terbangun oleh kedatangan Hamid pada pukul
04.30.
Setelah itu, ia pun kedatangan Mashuri SH, tetangganya di Jalan
Haji Agus Salim yang lebih dikenal sebagai Jalan Sabang.
ADVERTISEMENT
Rumah Aidit dan Jenderal Yani. Kamis
malam 30 September 1965, hujan gerimis turun di beberapa bagian kota
Jakarta, termasuk di Pegangsaan Barat. Rumah kediaman Dipa Nusantara
Aidit ada di jalan ini, rumah bernomor 4.
Sebelumnya, sampai April 1965,
Aidit bermukim di Galur Tanah Tinggi. Hingga pukul sebelas malam lewat,
Aidit masih menerima seorang tamu, Hardojo, Ketua CGMI. Aidit
sebelumnya, sesuai agendanya selaku Menteri Wakil Ketua MPRS, mungkin
sempat hadir di Gelora Senayan, acara Musjawarah Nasional Teknik, tapi
tampaknya pulang lebih awal, sebelum Presiden Soekarno berpidato. Namun
banyak pihak yang tidak melihat kehadirannya di Gelora Senayan itu,
sehingga ada kemungkinan ia memang tidak hadir. Aidit dan Hardojo
terlibat satu perbincangan yang tampaknya cukup serius.
Setiap kali
putera Aidit, salah satu anak kembar, Ilham, yang baru berusia enam
setengah tahun muncul dan berdiri di pojok ruang, percakapan terhenti.
Pukul sebelas, anak yang belum juga tidur itu muncul lagi ke ruang
depan. Aidit dan Hardojo sudah berada di teras rumah, meneruskan
pembicaraan, agaknya sambil menunggu gerimis reda. Akhirnya, Hardojo
pamit pulang. “Baiklah Har”, ujar Aidit melepas tamunya, “bila sempat,
lusa kau datanglah kembali, ada yang ingin aku bicarakan”. Ketua CGMI
itu menjawab, “Terima kasih, akan saya usahakan. Selamat malam, Bung
Aidit!”, sambil menjabat tangan sang pemimpin partai. Aidit lalu masuk
dan mengunci pintu depan dan tanpa menoleh berkata kepada anaknya “Ham,
larut malam begini, belum juga kau tidur ?”. Sesudah itu ia lalu
menuntun sang anak –yang punya kebiasaan menghitung dentang jam– masuk
ke kamar tidur di mana dua anaknya yang lain sudah tertidur lelap. Aidit
kemudian menuju ke ruang kerjanya (Wawancara, Ilham Aidit).
Lepas tengah malam, tak lama setelah
terdengar dentang jam dua belas kali, terdengar derum kendaraan bermotor
memasuki pekarangan rumah. Ternyata dua buah
landrover berwarna biru, milik Angkatan Udara. Dua perwira yang semula disangka perwira Angkatan Udara, tetapi ternyata berseragam
Tjakrabirawa,
turun menuju rumah, sementara beberapa lainnya hanya berdiri menjaga
dekat mobil. Kedua perwira itu memasuki ruang tamu setelah dr Tanti
–lengkapnya, Sutanti– isteri Aidit membukakan pintu.
Terdengar dialog
yang agak bersitegang. “Suamiku sudah akan mengaso, dan kalian datang
meminta dia ikut ke Halim? Sudah malam begini, buat apa ke Halim?!”,
ujar dr Tanti dengan nada kesal. Dengan cukup tegas, namun tetap santun
salah seorang perwira menjawab “Maaf, keadaan darurat, bu. Kami harus
segera, waktu terbatas”. Setelah bertukar kata dengan agak sengit,
akhirnya isteri Aidit mengalah, “Sebentar, akan saya panggilkan”,
berbalik dan menuju ruang kerja Aidit.
Ilham Aidit, putera Aidit yang malam itu
belum tidur-tidur juga dan bergentayangan terus mengikuti kejadian demi
kejadian, seraya menghitung dentang jam setiap kali benda itu
berbunyi, mencatat kemudian bahwa perdebatan sengit langsung terjadi di
ruang kerja Aidit. Tapi tanpa mengacuhkan ‘ocehan’ sang isteri, Aidit
menuju ruang depan menemui tamu tengah malam itu.
Kedua perwira militer
itu segera mendesak agar Aidit segera bersiap mengikuti mereka ke Halim.
Seraya menatap mata kedua perwira yang tidak dikenalnya itu
bergantian, Aidit berkata dengan nada datar, “Aku tak mengerti maksud
kalian”. Dijawab, “Bung Aidit, kami hanya menjalankan instruksi.
Segeralah bersiap bung, keadaan darurat!”. Aidit hanya menatap mereka
tanpa menjawab. Lalu dengan suara sedikit lebih keras, seorang di
antaranya berkata “Bung, waktu kita terbatas!”.
Terkesan setengah hati,
Aidit berbalik menuju kamar tidur, dan mempersiapkan tas yang diisi dua
pakaian ganti dan buku. Ia membawa pakaian ganti, karena diinformasikan
oleh kedua perwira, ada kemungkinan ke Yogyakarta bersama Presiden esok
hari.
Kedua perwira pembawa pesan yang tadinya disangka dari Angkatan
Udara, ternyata adalah dari Tjakrabirawa. Maka menjadi menarik,
penyebutan adanya rencana Presiden ke Yogya yang disampaikan kepada
Aidit. Penyebutan rencana ke Yogya oleh para perwira itu, antara lain
berdasarkan keterangan salah satu Ketua Sobsi, Tjasman Setyo Prawiro,
dalam wawancara untuk buku
Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006).
Seraya memeriksa dan membenahi tas
suaminya dr Tanti memprotes, “Aku tak setuju kau berangkat ke Halim.
Apalagi malam-malam begini. Aneh! Dan apa hak mereka memaksa kau ke
sana? Kau menteri negara, Wakil Ketua MPRS, Ketua PKI! Tak pantas mereka
memaksamu”. Jawaban Aidit, “Aku sendiri tak mengerti. Tapi kelihatannya
keadaan betul-betul darurat. Mereka mengatakan aku betul-betul harus
pergi ke Halim”. Isteri Aidit, Sutanti, tetap berkeras, “Darurat.
Darurat apa? Apanya yang darurat. Aku merasa ada yang tak beres. Aku
minta kau tidak pergi ke Halim bersama mereka”. Tapi Aidit memutuskan
“Aku harus berangkat”. Aidit memeluk isterinya, mengangkat dan mendekap
puteranya. Lalu berangkat, setelah berpesan kepada adiknya, Murad Aidit
yang sedang berada di rumah itu, agar mematikan lampu depan dan mengunci
pintu pagar. Itulah pertemuan terakhir Aidit dengan keluarganya.
Menurut Murad dalam sebuah catatan kenangannya mengenai Aidit (2005),
dipadamkannya lampu dan pagar yang terkunci adalah isyarat bahwa tuan
rumah takkan menerima tamu lagi malam itu. Saat itu, menjelang pukul
01.00, tanggal 1 Oktober 1965. Ketika Aidit dalam perjalanan dari
rumahnya di Pengangsaan Barat menuju Pangkalan Udara Halim
Perdanakusumah, pada waktu yang bersamaan Jenderal Soeharto berada dalam
perjalanan pulang dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat ke rumahnya di
Jalan Haji Agus Salim dengan menyempatkan diri ke Markas Kostrad sebelum
betul-betul pulang untuk beristirahat.
Letnan Jenderal Ahmad Yani, pagi hari
tanggal 30 September 1965 menuju Tanjung Priok bersama Mayor Jenderal
Soeprapto. Iring-iringan mobilnya yang didahului
vorrijder dari
CPM (Corps Polisi Militer) sempat berpapasan dengan mobil Jenderal
Abdul Harris Nasution yang baru saja berlatih golf di Rawamangun.
Mereka
tak melihat Nasution, tapi Nasution melihat mereka, karena mobilnya
yang tanpa pengawalan terdesak ke pinggir dan terhenti untuk memberi
jalan. Pagi itu, sebagai Kepala Staf KOTI, Ahmad Yani memberikan piagam
penghargaan kepada sejumlah nakhoda kapal sipil, terutama dari Pelni
(Pelayaran Nasional Indonesia), karena jasa-jasa mereka dalam
keikutsertaan pada berbagai operasi militer.
Hari itu, Ahmad Yani pulang
ke rumah dari Markas Besar Angkatan Darat, pukul 14.00. Ia sempat
istirahat siang dan melakukan beberapa kegiatan rutinnya di rumah dan di
luar seperti kebiasaannya pada hari-hari lainnya.
Menurut penuturan putera-puterinya, dalam buku
Kunang–
kunang Kebenaran di Langit Malam, 2002,
pertanyaan pertama Ahmad Yani ketika memasuki rumah kediaman, Jalan
Lembang Menteng, sepulang dari kantor adalah “Di mana ibu ?”, yang
diucapkan dalam bahasa Jawa. Anak-anak menjawab, “Ibu di dapur sedang
memasak”. Sambil menunggu makan siang disiapkan, Yani sempat mengobrol
dengan empat puteri tengahnya yang ada di rumah saat itu yakni Amelia,
Elina Lilik Elastria, Widna Ani Andriani dan Reni Ina Yuniati.
Sang
jenderal punya enam puteri dan dua orang putera. Dua puteri lainnya
Indria Ami Rulliati, puteri sulung, dan Herlia Emmy Rudiati, puteri
kedua. Lalu dua putera bungsu, Untung Mufreni dan Irawan Sura Eddy.
Letnan Jenderal Ahmad Yani mengajak mereka untuk menyaksikan defile 5
Oktober di istana, dan untuk itu mereka boleh tidak masuk sekolah pada
hari tersebut. “Bapak siang itu terlihat sangat gembira dan ceria”,
mereka mencatat. Tapi siang itu, tanpa sengaja Yani menyenggol botol
minyak wangi di atas bar sehingga tumpah isinya. Minyak wangi yang
tumpah itu oleh Ahmad Yani lalu diusap-usapkan ke badan
puteri-puterinya, sambil berucap dalam bahasa Jawa “Kalau ditanya orang
dari mana kau dapatkan bau wangi ini, katakan wanginya dari bapak”.
Setelah itu Ahmad Yani berangkat untuk main golf bersama pengusaha Bob
Hasan, tapi tak terlalu lama sudah kembali. Bob Hasan adalah ‘anak
angkat’ Jenderal Gatot Soebroto. Belakangan Bob amat dekat dengan
Presiden Soeharto, dan sempat diangkat menjadi menteri dalam kabinet
terakhir Soeharto yang berlangsung singkat.
Malamnya, Ahmad Yani menerima antara
lain Mayjen Basuki Rachmat di kediamannya –menurut anak-anaknya, sampai
pukul 22.00. Basuki Rachmat selaku Panglima Daerah Militer Brawijaya,
melaporkan kepada Ahmad Yani antara lain mengenai aksi massa PKI yang
menyerobot gubernuran Jawa Timur di Surabaya.
Dan dari seorang perwira
CPM, Yani menerima laporan mengenai adanya beberapa kegiatan di daerah
sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Terhadap laporan-laporan
itu, Yani mengatakan akan melaporkan dan mempersoalkannya besok pagi
sewaktu menghadap Presiden. Di sela-sela pertemuan dengan Basuki
Rachmat, Yani sempat menerima beberapa telepon, di antaranya dari
Brigjen Sugandhi.
Isterinya yang akan berulang tahun 1
Oktober keesokan harinya, menjelang pukul 21.00 bersama seorang teman
lamanya dan dua anggota keluarga, serta pembantu dan beberapa pengawal,
meninggalkan rumah menuju rumah di Jalan Taman Surapati, yang merupakan
kediaman resmi Menteri/Pangad. Ahmad Yani yang sibuk tidak menyertai
isterinya.
“Waktu itu, sebagai anak-anak kami juga merasakan hubungan
yang kurang harmonis antara bapak dan ibu. Hubungan di antara keduanya
agak sedikit mendingin. Keadaan ini membuat suasana dalam rumah terasa
kurang menyenangkan”. Nyonya Yayu Ruliah Ahmad Yani kemudian menginap di
Jalan Taman Surapati untuk tirakatan. Ahmad Yani sendiri, usai dengan
tamu-tamunya menjelang pukul 22.00, menurut kesaksian putera-puterinya,
menyempatkan menonton televisi sebelum pergi tidur, karena besok paginya
pukul 08.00 terjadwal harus menghadap Presiden Soekarno di Istana.
Tapi, menurut Chairul Saleh seperti yang disampaikannya beberapa waktu
kemudian kepada beberapa koleganya di kabinet, malam itu antara 21.00
hingga 23.00 Yani pergi menemui seorang kenalannya yang adalah seorang
seniwati, penyanyi dan pencipta lagu yang hingga kini masih populer.
Mungkin saja Chairul Saleh keliru tanggal. Sedang menurut Abdul Harris
Nasution, Ahmad Yani didampingi ajudannya, malam itu sempat berkeliling
Jakarta dengan mengendarai jip untuk mengamati situasi Jakarta, namun
agaknya tak ‘menemukan’ sesuatu yang mencurigakan.
Penjagaan rumah kediaman Letnan Jenderal
Ahmad Yani pada malam Jumat itu adalah penjagaan standar, seperti
hari-hari sebelumnya. Sebenarnya Mabes AD memberikan penambahan
pengawal, termasuk dari kesatuan Pomad (Polisi Militer AD) Para, tetapi
adalah Yani sendiri yang menolak penambahan itu. Petang harinya, ia
menyuruh pengawal tambahan dari kesatuan polisi militer ditarik dari
sana. Sikap dan tindakan Letnan Jenderal Ahmad Yani ini cukup
mengherankan sebenarnya, justru karena dari laporan-laporan yang sampai
kepadanya sampai saat itu, situasi tidak begitu bagus, bahkan sejak
beberapa hari terakhir ada ‘isu’ rencana penculikan sejumlah jenderal,
seperti disampaikan Soewondo Parman, sehingga Panglima Angkatan Darat
itu seharusnya lebih waspada.
Tapi ada kemungkinan, ia telah mendengar
sesuatu mengenai tindak tanduk Komandan CPM, Brigjen Soedirgo, yang
bolak-balik ke istana dalam beberapa hari terakhir. Tak ada yang tahu
apa yang sebenarnya ada dalam pikiran sang jenderal, dan apa yang sedang
berkecamuk dalam hatinya saat itu. Di depan para perwira yang bertamu
–memberikan laporan-laporan tentang hal-hal tak menyenangkan, malam itu–
dan demikian pula di mata putera-puterinya, Yani tetap tampil tenang
seperti biasa, meski tak lagi secerah seperti beberapa jam sebelumnya.
Tetapi, pada pagi hari 1 Oktober 1965, putera-puterinya menemukan foto
Nyonya Yayu Ruliah di tempat tidur. Rupanya sang jenderal sempat
memandangi foto isterinya untuk terakhir kali sebelum tertidur malam
itu.
WAPERDAM (Wakil Perdana Menteri) I
Laksamana Udara Tituler Dr Soebandrio, juga ‘menerima’ laporan tentang
akan adanya gerakan internal Angkatan Darat pada tanggal 18 September
1965. Tapi sampai saatnya ia berkeliling ke beberapa daerah Indonesia
Timur dan Jawa Timur, melakukan apa yang saat itu dikenal sebagai
Turba
(akronim untuk kegiatan ‘turun ke bawah’ meninjau daerah), tak ada
kejadian apa pun. Soebandrio menuturkan, beberapa hari sebelum ia
melakukan kunjungan serupa ke Sumatera tanggal 29 September, ada laporan
dari empat orang sipil –Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU,
serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang dari IPKI– bahwa “pada
tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di gedung
Akademi Hukum Militer di Jakarta”.
Rapat itu membicarakan antara lain
rencana pengesahan kabinet baru versi Dewan Jenderal. Muchlis, tutur
Soebandrio, tak hanya bercerita tetapi juga membawa pita rekaman suara
pembicaraan dalam rapat tersebut.
Dalam rekaman itu ada suara Mayjen
Soewondo Parman, “yang membacakan susunan kabinet”.
Susunan kabinet
versi rekaman itu, antara lain adalah Jenderal AH Nasution menjadi
Perdana Menteri, sedang Letjen Ahmad Yani menempati posisi Waperdam I
merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Posisi lainnya, Mayjen MT Harjono
sebagai Menteri Luar Negeri, Mayjen Soeprapto sebagai Menteri Dalam
Negeri, Mayjen Soewondo Parman sebagai Menteri Kehakiman dan Brigjen
Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan.
“Rekaman ini lantas saya
serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana dewan Jenderal ini sangat peka
dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno.
Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa
bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada
lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman
itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin
jelas gambarannya”.
ADVERTISEMENT
Mengenai
keberadaan Dewan Jenderal ini, Soebandrio pertama kali mendengarnya
dari wakilnya di BPI, Brigjen Sutarto. “Tetapi sama sekali tidak
lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal angkatan darat
yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap presiden”.
Setelah melaporkannya kepada Presiden Soekarno, Soebandrio berusaha
mencari tahu lebih dalam. “Saya bertanya langsung kepada Letnan Jenderal
Ahmad Yani tentang hal ini. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang
ada, tetapi itu dewan yang merancang kepangkatan di angkatan bersenjata
dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta”. Merasa tidak puas,
Soebandrio bertanya pula kepada Brigjen Soepardjo, Pangkopur II dan
mendapat jawaban, memang benar ada Dewan Jenderal dan bahkan sekarang
sudah siap membentuk kabinet baru. Isu Dewan Jenderal ini sebenarnya
terbuka kepada publik sejak awal April 1965 melalui pemberitaan
ditemukannya ‘dokumen’ Gilchrist di villa seorang Amerika, Bill Palmer.
Soebandrio menerima salinan dokumen itu melalui surat pos tanpa alamat
pengirim pada tanggal 15 Mei 1965, dan melaporkannya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 25 Mei.
Kisah seorang perwira intel dan seorang mayor revolusioner
Keberangkatan Soebandrio ke
Sumatera 29 September, dimulai dengan kunjungan ke Lampung. Ikut bersama
Soebandrio, Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Tapi saat
Soebandrio menuju Medan, Sri Muljono Herlambang dan rombongan berpisah,
menuju ke Bengkulu dan Padang. Soebandrio berada di Sumatera hingga 2
Oktober 1965.
SOKARNO
TAHUN 1965-1966.“Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu
peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa
gerangan yang bakal terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku
tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya
terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio?
(Karikatur Harjadi S)
Pada hari yang sama, tanggal 29
September pagi, Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar
Dhani, menghadap Presiden Soekarno. Kepada Soekarno, ia melaporkan
adanya sejumlah pasukan yang didatangkan dari daerah ke Jakarta.
Kesatuan-kesatuan itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, atas
permintaan Panglima Kostrad. Dengan laporan Omar Dhani ini, makin
terakumulasilah laporan-laporan tentang kegentingan situasi di kepala
Presiden Soekarno. Beberapa waktu sebelumnya, Soebandrio yang membawahi
Badan Pusat Intelijen juga menyampaikan ‘setumpuk’ laporan. Mengenai
“adanya sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Presiden, yang menamakan diri Dewan Jenderal”.
Soebandrio juga
melaporkan apa yang disebutnya ‘bocoran’ rencana pembentukan kabinet
baru. “Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar
itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang
bakal terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang
G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap
situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio?
Laksamana Omar Dhani sendiri, di
hari-hari terakhir bulan September 1965, terkesan tidak mengetahui
gambaran situasi dengan jelas. Panglima Angkatan Udara ini, sudah tahu
mengenai beberapa hal, setidaknya ia telah mendengar sejumlah
rumour
terkait Dewan Jenderal, yang santer pada hari-hari terakhir. Tetapi,
tampaknya masih perlu mencari tahu lebih banyak untuk mendapat gambaran
lengkap perkembangan terakhir tentang apa yang akan terjadi. Ia
mengetahui adanya pasukan-pasukan yang didatangkan dari daerah. Katanya,
untuk defile 5 Oktober, tetapi ada beberapa kesatuan yang dilengkapi
peluru tajam. Ia juga tahu rencana kedatangan Soepardjo yang bertugas di
Kalimantan Barat, tetapi apa tujuannya ia merasa masih serba samar.
Apakah terkait dengan kabar adanya masalah internal Angkatan Darat? Maka
ia menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo untuk menemui dan mencari
tahu apa maksud kedatangan Soepardjo ke Jakarta. (Omar Dhani,
wawancara).
Bagaimana sampai Heru Atmodjo mendapat
tugas langsung dari Menteri Panglima Angkatan Udara, jalan ceritanya
adalah seperti penuturan Heru sendiri, yang untuk sebagian dipaparkan
kembali berikut ini (dalam bukunya
‘Gerakan 30 September 1965’,
PEC-Hasta Mitra-Tride, 2004).
Berdasarkan penuturan itu, terlihat
betapa sebenarnya Heru Atmodjo yang saat itu menjabat sebagai Asisten
Direktur Intelijen Udara pada Markas Besar Angkatan Udara, telah
menemukan informasi amat berharga tentang apa yang akan terjadi dalam
dua puluh empat jam ke depan.
Tetapi adalah pula karena jejak langkahnya
mengumpulkan informasi itu, dan karena pertemuannya dengan para
pelaksana gerakan tanggal 30 September dalam perjalanan tugasnya
tersebut, ia kemudian ditangkap dan diadili. Melalui rangkaian
sidang-sidang Mahmillub tahun 1966 ia akhirnya dijatuhi hukuman seumur
hidup. Apalagi, namanya tercantum dalam daftar nama Dewan Revolusi yang
diumumkan Letnan Kolonel Untung pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi.
Sekitar jam sepuluh pagi, tanggal 30
September 1965, Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo menerima dua perwira
tinggi, Komodor Suwondo, Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun, dan
Komodor Surjono, Inspektur Jenderal MBAU yang datang ke ruangannya.
Kedua perwira itu menginformasikan tentang meningkatnya aksi-aksi
demonstrasi massa PKI, dan sebaliknya meminta gambaran perkembangan
situasi keamanan dan politik terbaru dari Heru Atmodjo.
Setelah
tamu-tamunya pergi, Heru menuju ke kantor Deputi Menteri Panglima
Angkatan Udara, Komodor Dewanto. Sang komodor ternyata tak ada di
tempat, karena berangkat mendadak bersama Menteri Panglima Angkatan
Udara, “dengan tergesa-gesa”. Yang ada di kantor itu hanyalah
perwira-perwira muda, di antaranya Letnan Dua Murdono. Ketika
mendiskusikan perubahan situasi nasional dengan perwira muda itu, Heru
tak memperoleh hal baru, kecuali saran untuk menemui Mayor Sujono yang
dianggap kemungkinan tahu banyak perkembangan terbaru karena mempunyai
hubungan dengan organisasi massa di luar AURI.
Sedikit berliku, Heru Atmodjo akhirnya
berhasil bertemu Mayor Sujono di rumah salah satu isterinya di Pondok
Gede, pukul 14.00 Kamis 30 September 1965. Perwira Menengah Angkatan
Udara ini adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AURI yang
bermarkas di daerah Kramat Jati, dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma, namun tak termasuk wilayah pangkalan tersebut. Dari sang
Mayor, Letnan Kolonel Heru mendapat gambaran bahwa
Dewan Djenderal
akan melakukan kudeta bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan
Bersenjata RI 5 Oktober 1965. Maka, sejumlah perwira Angkatan Darat
dibantu perwira dari angkatan lainnya –yang disebut Sujono sebagai
perwira-perwira progressif revolusioner– akan melakukan pencegahan
dengan menangkap para jenderal dari
Dewan Djenderal
itu.
Sujono menyebutkan nama-nama Jenderal Abdul Harris Nasution, Letnan
Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal
Soewondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Brigadir
Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald Izacus
Pandjaitan.
Sujono juga mengungkapkan pasukan yang
disiapkan: Brigade Infantri I yang dipimpin Kolonel A. Latief, Yon I
Tjakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung, dibantu Yon Raiders 454
Diponegoro dan Yon Raiders 530 Brawidjaja. Selain pasukan tersebut, kata
Sujono, juga akan ambil bagian para sukarelawan yang selama ini
dilatihnya dekat Lubang Buaya Pondok Gede serta pasukan yang ada di
bawah komandonya.
Heru Atmodjo menghitung-hitung, akan ada pasukan yang
berkekuatan kurang lebih satu divisi. Informasi terpenting yang
diperoleh dari Sujono adalah bahwa mereka akan bergerak malam itu.
Sujono juga menyebut bahwa Brigadir Jenderal Soepardjo sudah ada di
Jakarta. Disebutnya nama Soepardjo membuat Heru tidak lagi menganggap
informasi Sujono sebagai suatu klise –dan telah banyak didesas-desuskan–
yang tidak dapat dijadikan sebagai elemen penting informasi menurut
bahasa intelejen. “Tetapi ketika ia menyebut Brigjen Soepardjo, yang
jenderal ini, yakni seorang Panglima Komando Tempur II di Kalimantan
serta bawahan langsung Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dhani, sebagai
Panglima Komando Siaga; faktor ini menjadi amat penting untuk mendapat
konfirmasi dari Men/Pangau sendiri”.
Mayor Sujono juga menyatakan kepada Heru
Atmodjo, bahwa gerakan para perwira Angkatan Darat ini adalah masalah
intern Angkatan Darat, “akan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan
revolusi secara keseluruhan”. Dan untuk itu ia bergabung dengan mereka,
ia akan membantu mereka dengan atau tanpa restu Menteri Panglima
Angkatan Udara, atas tanggung jawab pribadi selaku seorang “insan
revolusioner”. Sujono juga mengungkapkan bahwa gerakan akan menggunakan
Gedung Penas sebagai Senko (Sentral Komando), serta akan menggunakan
kendaraan dan senjata dari gudang milik AURI.
TATKALA pada sore pukul 16.00, Kamis 30
September 1965 itu juga, Letnan Kolonel Heru Atmodjo melaporkan
segalanya kepada Laksamana Madya Omar Dhani di rumah kediaman Jalan
Wijaya Kebayoran Baru dan menyebutkan keterlibatan Brigjen Soepardjo,
Panglima Angkatan Udara ini spontan memerintahkan Heru untuk mencari
sang jenderal.
Heru harus mendapat jawaban mengenai tujuan sebenarnya
dari gerakan tersebut, serta di atas segalanya, adalah masalah
keselamatan Pemimpin Besar Revolusi Panglima Tertinggi, dan melaporkan
hasilnya kepada Omar Dhani pukul 20.00 malam itu juga.
Heru Atmodjo menyempatkan kembali ke
rumahnya selama satu jam di Cipinang Cempedak untuk makan ‘siang’ dan
baru bergerak kembali 18.00. Satu jam kemudian, 19.00, barulah ia
bertemu Mayor Sujono untuk minta dipertemukan dengan Soepardjo. Sujono
mengatakan bahwa kalau Heru mau bertemu Soepardjo, besok pagi saja di
Penas, pukul 05.00 tanggal 1 Oktober 1965. Ini berarti, kalau apa yang
direncanakan berlangsung malam itu, Sujono baru bertemu dengan Soepardjo
setelah gerakan terjadi.
Apakah dalam hal ini bisa ditafsirkan Sujono
tidak menghendaki ada gangguan sekecil apapun, termasuk sekedar
bertanya, malam itu sampai gerakan selesai? Tidak jelas pula seberapa
jauh Sujono menjaga kerahasiaan gerakan ‘internal’ Angkatan Darat itu,
karena dengan menginformasikan rencana yang di dalamnya ia turut serta
dengan menggunakan alat dan fasilitas AURI tanpa seijin atasan, kepada
seorang perwira intelijen, gerakan bisa terhalang.
Katakanlah para
atasan di AURI yang pasti dilapori, tidak menyetujui digunakannya
senjata dan kendaraan milik AURI, karena tidak mau terlibat masalah
intern angkatan lain, Sujono bisa ditangkap malam itu juga oleh pimpinan
AURI.
ADVERTISEMENT
Tak
berhasil bertemu malam itu dengan Brigjen Soepardjo, tak lebih dari
sejam kemudian, 20.00, Heru telah tiba kembali di kediaman Omar Dhani.
Di sana telah berkumpul sejumlah perwira teras Angkatan Udara, antara
lain Laksamana Muda Makki Perdanakusuma, Deputi Operasi Komodor Dewanto,
Deputi Logistik Komodor Andoko dan Panglima Komando Operasi Komodor Leo
Wattimena. Omar Dhani memerintahkan Heru Atmodjo melaporkan informasi
lengkap yang diperolehnya dari Mayor Sujono.
Para petinggi AURI itu
menyimpulkan bahwa apa yang akan terjadi terkait dengan rencana gerakan
menjemput para perwira tinggi pimpinan Angkatan Darat –untuk
diperhadapkan kepada Presiden– oleh sejumlah perwira seperti dilaporkan
Heru, adalah masalah internal Angkatan Darat. Untuk menangkal bilamana
ada imbas gerakan, diputuskan untuk menjalankan kesiap-siagaan di
lingkungan AURI, khususnya di Halim Perdanakusuma dan Markas Besar.
Pertemuan juga menyetujui agar Menteri Panglima Angkatan Udara dan para
petinggi AURI lainnya sebaiknya malam itu berada di Pangkalan Udara
Halim Perdanakusuma saja demi keamanannya sendiri. Sehingga, bilamana
ada sesuatu kegentingan terjadi, mudah melakukan evakuasi. Tetapi secara
umum, sejauh data yang ada, dalam pertemuan itu tak ada sikap tegas
diputuskan dalam konteks situasi, dan agaknya sikap yang dipilih adalah
menunggu tanpa mencampuri ‘masalah internal Angkatan Darat’. Ini
sekaligus menunjukkan terdapatnya kerenggangan dalam hubungan Angkatan
Darat dengan Angkatan Udara.
Di kemudian hari, Heru Atmodjo
memberikan penilaian bahwa “Pimpinan AURI mengambil sikap jalan
setengah-setengah. Setengah membiarkan, tidak melarang secara tegas
Mayor Sujono ambil peran, walaupun sudah dilaporkan sebelumnya”.
Bukankah disimpulkan bahwa itu adalah masalah internal Angkatan Darat?
Mengapa, adalah Heru sendiri yang mencoba menjawabnya, “karena kuatnya
loyalitas Laksamana Omar Dhani kepada Bung Karno, yang tanpa reserve,
tanpa memikirkan akibat-akibatnya”. Sikap Pimpinan Angkatan Udara yang
seperti itulah yang kelak antara lain menjadi dasar tuduhan tentang
keterlibatan Angkatan Udara dalam Peristiwa 30 September 1965.
Mewakili pandangan yang hidup di tubuh
Angkatan Udara saat itu, Heru menggambarkan bahwa di lain pihak
“Angkatan Darat memang sarang perwira-perwira yang tidak loyal kepada
pimpinan negara, Bung Karno. Orientasi mereka bukan kepada kepentingan
nasion
secara keseluruhan, melainkan untuk kelompok mereka sendiri”. Sikap
seperti itu dalam sudut pandang pimpinan AURI, bertentangan dengan garis
kepemimpinan Presiden Soekarno. Mengenai Sujono, Omar Dhani mengatakan
“Sujono itu terlalu bodoh”, melibatkan diri dengan membawa sejumlah
anggota Angkatan Udara dan perlengkapan kesatuan, padahal waktu itu
“kita sendiri kekurangan tenaga”.
Laksamana Madya Omar Dhani sendiri waktu
itu menganggap banyak perwira yang ‘tidak benar’ di tubuh Angkatan
Darat, dalam konteks sikap yang berlawanan dengan Soekarno, seperti
misalnya Jenderal Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto. Meskipun Mayor
Jenderal Soeharto adalah wakilnya di Kolaga, Omar Dhani tidaklah punya
hubungan dekat dengannya. Menurut Omar Dhani, “Soeharto itu perwira yang
keras dan kaku dan merasa tidak mau diatur oleh atasan”.
Tapi terlepas
dari itu, apakah pimpinan Angkatan Udara, khususnya Laksamana Omar
Dhani, saat itu memang tidak punya kepedulian terhadap masalah Angkatan
Darat, khususnya terhadap koleganya sesama panglima angkatan, Letnan
Jenderal Ahmad Yani? Ada penjelasannya.
Beberapa waktu sebelum tanggal 30
September, Omar Dhani bertemu bertiga dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani
dan Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo. “Saya sudah
ngomong, ada sesuatu yang akan terjadi”, khususnya dalam kaitan dengan
Angkatan Darat, jadi hendaknya berhati-hati. Yani tampaknya tetap tenang
saja. Omar Dhani menggambarkan bahwa hubungannya dengan Yani baik
sekali hingga saat itu.
Suatu ketika, sewaktu berbincang-bincang dengan
Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata dan Panglima Angkatan
Kepolisian Jenderal Soetjipto, pada suatu kesempatan lain, tanpa
kehadiran Yani, mengenai
the incoming leader after
Soekarno, dengan serta merta Omar Dhani menyebutkan nama Ahmad Yani.
“Kami semua sepakat, dialah yang paling pantas”. Tapi, sekitar waktu itu
Omar Dhani sendiri pernah juga disebut-sebut namanya untuk posisi
Presiden, antara lain oleh pimpinan PKI. “Saya tidak pernah memikirkan.
Tidak pernah mencalonkan diri”. Meskipun sempat membicarakan
the next, secara umum para Panglima tersebut sampai saat itu menurut Omar Dhani, tidaklah pernah memikirkan penggantian Presiden.
Soekarno, Aidit dan Jenderal Nasution
Soal siapa yang bisa dan pantas
menggantikan Soekarno kelak, sebenarnya tak hanya nama Yani –atau Omar
Dhani –yang muncul kala itu. Soebandrio yang secara formal adalah orang
kedua setelah Soekarno dalam kekuasaan hingga tahun 1965, justru
menggambarkan adanya dua tokoh yang memiliki peluang seimbang, yakni
Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Spekulasi
yang berkembang, “jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu
memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah antara Yani
dan Nasution”. Sebenarnya, pada sisi lain Soebandrio sendiri pun kerap
disebutkan termasuk yang memiliki peluang untuk itu. “Yang tidak banyak
diketahui orang”, ungkap Soebandrio, “dari sekian perwira senior yang
paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution”.
Sampai-sampai Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus
gagasan ‘Negara dalam Negara’.
Selain sangat berpengalaman di bidang
militer, Nasution juga matang berpolitik. “Dia pencetus ide Dwi Fungsi
ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan
manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan
militer, agar tentara bisa masuk ke lembaga-lembaga negara secara
efektif di pusat dan daerah”.
Pertemuan langsung antara Soekarno
dengan Nasution yang terakhir adalah pertengahan September 1965, tatkala
Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Dipa Nusantara Aidit
di Istana Negara. Tak ada hal yang istimewa dalam pertemuan sepintas
dalam keramaian suasana upacara kala itu, di antara keduanya, kendati
saat itu dalam benak Soekarno nama Nasution pasti terekam dengan
konotasi tertentu, karena nama Nasution tercatat dalam laporan sebagai
salah satu anggota Dewan Jenderal.
Soekarno bahkan meletakkan Nasution
sebagai otak di belakang segala sesuatu yang terkait dengan Dewan
Jenderal, meskipun setiap kali memerlukan penjelasan, Soekarno selalu
memintanya kepada Yani.
Peristiwa agak istimewa, justru terjadi antara
Aidit dengan Nasution. Setelah selesai upacara, menurut memori Nasution,
Aidit datang kepadanya dan menanyakan “Manakah dari pita-pita di dada
Jenderal Nasution yang mengenai operasi Peristiwa Madiun 1948?”.
Nasution menunjukkan pita itu dan Aidit segera menggandeng tangan
Jenderal Nasution seraya meminta para wartawan mengambil gambar mereka
berdua.
Hanya beberapa hari sebelumnya, 13
September 1965, juga di istana, Presiden Soekarno menyerang Jenderal
Nasution –meskipun tanpa menyebut nama. Dalam pembukaan pertemuan
Gubernur se-Indonesia, Soekarno kembali mengulangi tentang adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni sebarisan
‘jenderal brengsek’, yang semua orang tahu terutama ditujukan kepada
Nasution.
Ini bukan pertama kali dilontarkan Soekarno, terutama sejak ia
menerima informasi-informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang
bermaksud menggulingkan dirinya. Pada waktu yang bersamaan para pemimpin
PKI melontarkan pernyataan-pernyataan senada, sehingga tercipta opini
bahwa Soekarno memang betul-betul telah seiring sejalan dengan PKI,
sesuatu yang kelak harus ditebus Soekarno dengan mahal.
PRAKTIS sepanjang September 1965, PKI
menyerang secara agresif, lawan-lawan politiknya, terutama
kelompok-kelompok tentara yang dikaitkan dengan Jenderal AH Nasution.
Seraya menggambarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal kepada
Soekarno,
Harian Rakjat 4 September menulis bahwa para perwira
tentara itu dalam pola maling teriak maling menuduh seakan-akan PKI mau
melakukan kup.
Tetapi sementara itu, pada tanggal 9 September adalah DN
Aidit sendiri yang menggambarkan akan terjadinya sesuatu dengan
mengatakan “Kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum
revolusioner adalah bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu.
Sang bayi pasti lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya
baik dan sang bayi cepat jadi besar”.
Ucapan ini diperkuat Anwar
Sanusi. Lima hari kemudian, 14 September, di depan sidang nasional Sobsi
Aidit mengatakan bahwa “yang paling penting sekarang ini, bagaimana
kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.
Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum
dinasti ekonomi,
kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara”. Akronim
kapbir
digunakan untuk kapitalis birokrat.
Di depan karyawan BNI, 17
September, Aidit mengatakan “Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya
mambu
Nasakom”. Lalu 21 September di depan Sarbupri, Aidit menyatakan “Jangan
berjuang untuk satu ikan asin…. Jangan mau jadi landasan, jadilah palu
godam”. Seraya menggambarkan bahwa para menteri hidup dari distribusi
kewibawaan dari Bung Karno, ia sebaliknya melukiskan “kaum proletar
tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka”.
ADVERTISEMENT
SOEKARNO
DAN AIDIT. “…. Aidit yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok
Leimena dan sekaligus dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa
kalau CGMI tidak bisa melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung
saja. Soekarno yang sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan
diri dengan baik. Ia mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun,
bilamana HMI ‘ternyata menyeleweng’ dari garis revolusi, ia sendiri akan
melarang dan membubarkan HMI”.(Repro: applet.magic.com)
Paling agresif adalah ucapan-ucapan
Aidit di depan Kongres III CGMI 29 September 1965, “Mahasiswa komunis
harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat.
Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi berani”.
Pada
acara itu Aidit melancarkan serangan khusus kepada HMI yang beberapa
waktu sebelumnya sempat dibela oleh Ahmad Yani. Bahkan sebenarnya Aidit
malam itu seakan ‘melawan’ Soekarno ketika ia menanggapi pidato Waperdam
II Leimena. Sang Waperdam yang berbicara sebelum Aidit, malam itu
mengatakan bahwa sesuai sikap Presiden Soekarno, hendaknya HMI tak perlu
lagi dipersoalkan lebih lanjut.
Menurut Leimena, bukankah beberapa hari
sebelumnya, 22 September, Presiden telah menyatakan penolakannya
terhadap tuntutan pembubaran HMI yang disampaikan kepadanya? Namun Aidit
yang berbicara kemudian, seakan mengolok-olok Leimena dan sekaligus
dianggap ‘menantang’ Soekarno, mengatakan bahwa kalau CGMI tidak bisa
melenyapkan HMI, sebaiknya mereka memakai sarung saja. Soekarno yang
sebenarnya merasa tersinggung, tetap mengendalikan diri dengan baik. Ia
mengatakan HMI tak perlu dibubarkan. Namun, bilamana HMI “ternyata
menyeleweng” dari garis revolusi, ia sendiri akan melarang dan
membubarkan HMI.
Sesuatu yang ikut memberatkan PKI di belakang hari adalah editorial
Harian Rakjat
pada tanggal 30 September, yang berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan
negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat
terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di
muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti
berhasil”.
Editorial ini seakan membayangkan suatu pengetahuan tentang
rencana PKI berkaitan dengan kematian para jenderal melalui suatu
hukuman mati oleh rakyat atau kekuatan revolusioner. Akumulasi
pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI, terutama Aidit, serta apa
yang hitam putih termuat dalam
Harian Rakjat, di
belakang hari ibarat mozaik yang setelah disusun menjadi sebuah gambar,
telah mendorong munculnya opini kuat tentang keterlibatan dan peran PKI
sebagai otak gerakan makar tanggal 30 September 1965.
Jenderal Nasution yang pada bulan
September itu banyak menjadi bulan-bulanan serangan kelompok politik
kiri maupun Soekarno, lebih banyak berdiam diri, dalam arti tak banyak
mengeluarkan pernyataan-pernyataan menanggapi serangan-serangan yang
ditujukan pada dirinya.
Bahkan serangan tentang keterlibatan isterinya
dalam suatu kolusi bisnis yang memanfaatkan kekuasaan suami, juga
didiamkan Nasution. Dalam suatu rapat raksasa 29 September –suatu model
pengerahan massa pada masa itu– di lapangan Banteng yang dihadiri lebih
dari seratus ribu orang, sebagian besar terdiri dari pelajar yang
dikerahkan IPPI pimpinan Robby Sumolang, ada aksi tunjuk hidung terhadap
kapbir, setan-setan kota dan kaum koruptor.
Empat nama setan
kota yang ditunjuk hidungnya adalah Hein Siwu, Pontoan, Kapten Iskandar
dan seorang insinyur pemilik pabrik tekstil bernama Aminuddin, yang
nama-namanya sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung Brigjen Sutardhio.
Menurut Nasution, nama yang disebut terakhir, Ir Aminudin, bersama Hein
Siwu, dikait-kaitkan dengan isterinya dalam urusan bisnis.
Nasution
memang pernah memenuhi undangan Aminuddin untuk meninjau pabrik tekstil
milik Aminuddin yang terletak di daerah Cawang. Pabrik itu,
“didesas-desuskan sebagai milik saya, yang diurus oleh Ir Aminuddin”.
Kejadian sebenarnya dari hubungan itu, menurut Nasution adalah bahwa
Hein Siwu dengan diantar oleh Kolonel Hein Victor Worang pernah datang
untuk menyumbang kegiatan sosial Nyonya Sunarti Nasution.
Sepanjang September Jenderal Nasution
banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama
Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian
yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke
sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian,
seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di
Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen
Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi
Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen
Surjo Sumpeno.
Malam hari tanggal 30 September 1965,
Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya
diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris.
Rupanya selama
saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus
mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang
bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut
Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel
Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah
Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri
tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak
ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak
melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”.
Waktu
Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama
puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka
tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar.
“Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai
di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini
kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala
Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.
Pada pekan terakhir September Nasution
banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam
rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober.
Nasution sendiri
menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara
sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin
dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan
show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga,
Ganefo –
Games of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai
Nefos.
Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan
keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal
dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain
Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.
Perjalanan keliling ke berbagai daerah
sepanjang September dilakukan Jenderal Nasution tanpa mengeluarkan
pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya,
berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan
pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan
September.
Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang
berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan
ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya
kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965
malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.
Seperti digambarkan Soebandrio, memang
Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir.
Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya
isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan
adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan
prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada
suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu
kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.
KETIKA merayakan ulang tahunnya, 6 Juni
1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok
jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana
menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara
langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir.
Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul
Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf
Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan
di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali
Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan
ajudan juga hadir, yakni Komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur,
Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan
ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando.
SOKARNO-MAO.
“Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan
Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan
Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan
menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno
menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain
bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya”.
(Repro: tony’sfile/penasoekarno.wordpress.com)
Setelah membentangkan laporan-laporan
yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal
tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal,
Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki
lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan
kerjanya. Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan
keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan
Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal
Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar
Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara”
dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno
menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain
bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya.
ADVERTISEMENT
Menurut
Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama
jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau
jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal
brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan
menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan
terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu.
Suatu ketika
Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo
Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi
habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu
memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami
strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya
‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya.
Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno,
poros Jakarta-Peking.
Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan
waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang
menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno
kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjafiuddin menggambarkan
adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di
tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima
Tertinggi. Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung
Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas
Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak
loyal kepada Presiden Soekarno.
Soekarno sekali lagi menyatakan akan
mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini
menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan
menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29
September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid
rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah
Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang
langsung menyatakan kesediaannya.
Selain Sjafiuddin, Presiden Soekarno
juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut
mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang
ditugasi adalah Komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan
Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga
membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya
selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan
Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu
mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.
Di
bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah
satu komandan batalion
Tjakrabirawa. Kepada Untung ia
bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para
jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung
akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah
bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang
kemudian melanjutkannya kepada Sjam Kamaruzzaman. Bahkan Sjam
mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para
jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat.
Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding
begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno
sendiri pada akhirnya.
Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan
September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan,
Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk
bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal.
Pada 15
September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan
Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh
Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi
Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan
Hardjo Wardojo.
Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi
belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata
memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak
menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata
harus dilakukan suatu tindakan yang cepat.
Ia lalu bertanya kepada Sabur
bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil
tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen
Tjakrabirawa
itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya
dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya
masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”.
Soekarno lalu
mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan
Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk
segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah Dr Subandrio,
Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya
Udara Omar Dhani.
Ketika Brigjen Soedirgo menghadap lagi
26 September, kembali Soekarno mengatakan telah memerintahkan Brigjen
Sabur dan Brigjen Sunarjo untuk mengambil tindakan dan memerintahkan
Soedirgo membantu. ”Saya percaya kepada Corps Polisi Militer”, ujar
Soekarno.
Terlihat betapa selama berminggu-minggu, persoalan
berputar-putar pada lapor melapor tentang adanya jenderal-jenderal yang
tidak loyal dan setiap kali Presiden Soekarno pun mengeluarkan perintah
penindakan. Namun, rencana penindakan itu seakan jalan di tempat.
Barulah pada tanggal 29 September 1965, tampaknya ada sesuatu yang dapat
dianggap lebih konkret, dengan munculnya Brigjen Mustafa Sjarif
Soepardjo melaporkan kepada Soekarno kesiapan ‘pasukan’ yang
dikoordinasi Pangkopur II dari Kalimantan ini untuk segera bertindak
terhadap para jenderal yang tidak loyal tersebut.
Menurut berita acara
pemeriksaan Teperpu Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko menerangkan
bahwa dalam pertemuan pukul 11 pagi itu, selain Brigjen Soepardjo hadir
pula Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, yang menyatakan
kesediaannya membantu.
Kesaksian Widjanarko ini dibantah Omar
Dhani, karena “sewaktu saya menghadap Presiden Soekarno, saya tidak
melihat kehadiran Soepardjo di istana” (Omar Dhani, wawancara dengan Rum
Aly).
Artinya, mereka menghadap pada jam yang berbeda. Omar Dhani
sepanjang yang diakuinya, datang melaporkan kepada Presiden Soekarno
tentang kedatangan sejumlah besar pasukan dari daerah –Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat– ke Jakarta dengan alasan untuk kepentingan Hari
Ulang Tahun Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965, yang dianggapnya aneh
karena diperlengkapi peralatan tempur garis pertama.
Selain itu, ia
justru telah menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang menghadap di
kediamannya pada pukul 16.00 Kamis 30 September 1965 untuk menemui
Brigjen Soepardjo dan meminta keterangan rencana dan tujuan sebenarnya
dari gerakan yang akan dilakukan Soepardjo di ibukota negara seperti
yang dilaporkan oleh Asisten Direktur Intelijen AU itu.
Akhirnya, darah mengalir
PERINTAH-PERINTAH
penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno kepada
beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang
terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti
berputar-putar saja tanpa hasil konkrit. Pulang-pergi, jenderal-jenderal
seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen
Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian
panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa
memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak loyal yang merencanakan
semacam tindakan makar terhadap Soekarno.
Ketika Soekarno menanyakan
kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka
selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberikan
penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri
tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan,
persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.
ADVERTISEMENT
Brigjen
Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps Polisi Militer
kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan –yang juga
belum jelas bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum menunjukkan
kesiapan. Apakah penindakan itu nantinya berupa penangkapan oleh Polisi
Militer, lalu diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya belum jelas.
Akan
tetapi dalam pada itu, melalui Brigjen Sabur, dana dan fasilitas berupa
kendaraan baru dan sebagainya, telah mengalir kepada Brigjen Soedirgo.
Hanya urusan uang dan fasilitas itu yang merupakan kegiatan yang jelas
saat itu.
Karir Brigjen Soedirgo selanjutnya cukup
menarik. Oktober 1966, setelah Soeharto mulai memegang ‘sebagian’
kekuasaan negara selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, adalah
Soeharto sendiri yang menarik Soedirgo menjadi Deputi KIN (Komando
Intelijen Negara). Mei 1967 KIN ini dilebur menjadi Bakin (Badan
Koordinasi Intelijen Negara), dan cukup menakjubkan bahwa Soeharto yang
telah memegang kekuasaan negara sepenuhnya menggantikan Soekarno, malah
mengangkat Soedirgo yang sudah berpangkat Mayor Jenderal menjadi Kepala
Bakin yang bermarkas di Jalan Senopati di Kebayoran Baru Jakarta
Selatan.
Agaknya Soeharto memiliki kebutuhan khusus dari Soedirgo yang
di tahun 1965 mendapat perintah menindaki para jenderal yang tidak
loyal. Akan tetapi, 21 Nopember 1968, Soeharto memerintahkan pencopotan
Soedirgo dari jabatannya di badan intelijen dan setelah itu Soedirgo
dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo, beberapa jenderal lain yang di
tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno,juga dikenakan penahanan.
“Gajah tidak pernah lupa”, kata pepatah. Sebagai pengganti Soedirgo,
Soeharto mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro
di Jawa Tengah, Yoga Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan
Jenderal.
Ada kesan, perintah menindak yang
berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak
ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul
dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir
Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar
bluffing, yang
diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan,
melalui trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk
dilaksanakan, perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan
khalayak yang cukup banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah
rahasia. Soekarno pasti tahu itu.
Namun sementara itu, perintah serupa
yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4
Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru
menggelinding.
Penyampaian Soekarno kepada Untung ini sedikit tenggelam
oleh ‘insiden’ pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah
pertemuan. Bahkan, fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari
menimbulkan keraguan apakah betul Untung hari itu memang bertemu dan
mendapat perintah dari Soekarno. Tetapi faktanya, segera setelah kepada
Untung oleh Soekarno ditanyakan kesediaan dan kesiapannya untuk
bertindak menghadapi para jenderal yang tidak loyal yang tergabung dalam
apa yang dinamakan Dewan Jenderal, ia ini segera menghubungi Walujo dan
menceritakan permintaan Soekarno kepadanya.
Walujo, orang ketiga dalam
Biro Khusus –
Biro Chusus– PKI, lalu meneruskan
perkembangan ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus. Sjam
Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah
punya point-point mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan
kepentingan partai dan sebagai hasil diskusinya dengan kalangan terbatas
pimpinan partai. Khusus mengenai Letnan Kolonel Untung, baru bisa
dibicarakan Sjam dengan Aidit, sepulangnya Ketua Umum CC PKI itu dari
Peking. Dan rapat terbatas membahas munculnya sayap militer itu serta
perkembangan terbaru sepulangnya Aidit dari Peking itu mulai dilakukan
pada 9 Agustus.
Rapat pertama Biro Khusus PKI dengan
Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai dilakukan 6 September 1965 di
Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan kedua, Sjam dan Pono.
Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan Kolonel Untung,
adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit serta seorang perwira
artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat
malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan
Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah.
Mendapat uraian dari
Sjam Kamaruzzaman mengenai situasi terakhir negara, serta adanya
sejumlah jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan
mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, para perwira
menengah itu menyepakati suatu rencana gerakan penangkalan.
Seluruhnya,
dengan berganti-ganti tempat, termasuk di kediaman Sjam di Salemba
Tengah, hingga tanggal 29 September berlangsung sepuluh pertemuan.
Hampir sepenuhnya pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan
militer, karena sejak awal mereka sepakat bahwa aspek politik dan
ideologis ditangani oleh Sjam dan Pono saja.
Rangkaian pertemuan itu pun
praktis tak memiliki persentuhan yang nyata dengan PKI, terkecuali
kehadiran Sjam dan Pono dari Biro Khusus. Secara berurutan, setelah
pertemuan pertama 6 September, berlangsung pertemuan kedua 9 September,
ketiga 13 September, keempat 15 September, kelima 17 September, keenam
19 september, ketujuh 22 September, kedelapan 24 September, kesembilan
26 September dan kesepuluh 29 September 1965.
Sampai pertemuan keempat di rumah
Kolonel Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas pasukan-pasukan mana
yang bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada pertemuan kelima, 17 September 1965
juga di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan dengan lebih jelas
komposisi pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut
perhitungan Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi.
Disebutkan kekuatan yang akan dikerahkan terdiri dari Batalion 530 dari
Divisi Brawijaya, Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion
dari Brigif I Kodam Jaya yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi dari
satuan
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung sendiri,
satu kompi di bawah Kapten Wahjudi serta 1000 orang sukarelawan yang
telah dilatih oleh Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya.
Penetapan D-Day
dipengaruhi oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan yang
dilatihnya masih memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai
tingkat
combat ready. Faktor lain, karena Letnan
Kolonel Untung merasa masih ada kekurangan, dan untuk itu ia
mengharapkan adanya satu kesatuan kavaleri dengan 30 tank atau panser.
Letnan Kolonel Untung mengharapkan bantuan itu datang dari Divisi
Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang keberhasilan
memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam Siliwangi.
Tanpa menyebutkan nama, pada pertemuan keenam di rumahnya, Sjam
menyebutkan adanya dukungan seorang jenderal terhadap gerakan ini. Dan
pada pertemuan ketujuh, 22 September, ditetapkan pembagian tugas per
pasukan yang diberi penamaan Pasopati, Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas
yang paling khusus, ‘penjemputan’ para jenderal target, diserahkan
kepada Pasopati.
Penetapan rencana pembentukan Dewan
Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24 September, di rumah
Sjam. Pertemuan yang terjadi tujuh hari sebelum 1 Oktober 1965 itu,
termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai
puncaknya dengan kehadiran lengkap seluruh pendukung gerakan dan
tercapainya kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi.
Semula nama yang
dipilih adalah Dewan Militer, tetapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan
dan mengusulkan penggunaan nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih
luas, tidak terdiri dari kalangan militer saja. Semula, dalam Dewan
Militer, selain nama para perwira pelaksana gerakan, disebutkan nama dua
panglima angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Laksamana
Madya Laut RE Martadinata. Itulah pertama kali nama Aidit dikaitkan
dengan gerakan, meskipun hanya melalui ucapan Sjam, tapi sejauh hingga
saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan.
Dalam pertemuan kesembilan, 26
September, ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional) dekat Halim
Perdanakusumah sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini ada
desakan agar D-Day ditetapkan pada 29 September, tetapi Letnan Kolonel
Untung memintanya ditunda menjadi 30 September, karena ia masih berharap
mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi
Siliwangi. Dan ia telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada
seseorang yang sepanjang data yang ada belum pernah terungkap namanya
Menurut seorang jenderal purnawirawan yang pernah bertugas di bidang
intelijen, orang yang dimaksud tak lain adalah Mayjen Soeharto, yang
kemudian memintanya dari Brigjen Rukman dari Siliwangi yang oleh Sjam
dikatakan pernah menyanggupi memberi bantuan pasukan. Namun data ini
masih harus ditelusuri lebih jauh kebenarannya.
PERMINTAAN Letnan Kolonel Untung akan
dukungan kavaleri dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai
terjadi peristiwa pada 1 Oktober dinihari. Namun merupakan suatu
kebetulan yang menakjubkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu
pasukan kavaleri dengan 30 buah tank dan kendaraan lapis baja dari
Siliwangi –persis sama dengan yang diinginkan Letnan Kolonel Untung–
betul-betul datang ke Jakarta dan bergabung ke bawah komando Panglima
Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Pertemuan terakhir, dilakukan tepat pada
D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba Tengah. Pada pertemuan
ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang dari Pontianak
sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman. Pangkopur II ini
menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam
komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan
yang tersedia sudah mencukupi.
Malam itu ditaklimatkan nama delapan
jenderal yang akan dijemput, yakni Jenderal 1. AH Nasution, 2. Letnan Jenderal
Ahmad Yani, 3. Mayjen Soewondo Parman, 4. Mayjen R. Soeprapto, 5. Mayjen Mas
Tirtodarmo Harjono, 6. Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, 7. Brigjen Soetojo
Siswomihardjo dan 8. Brigjen Ahmad Soekendro. Namun nama Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro, dicoret dari daftar Jenderal yang
akan diculik. Soekendro menjelang malam G 30 S sedang melawat ke RRC
untuk menghadiri acara hari nasioal Republik Rakyat Cina. Satuan
Pasopati seharusnya terdiri dari 250 orang anggota Cakrabirawa.
Ada perubahan angka pasukan
yang akan dikerahkan, dari satu kompi
Tjakrabirawa menjadi satu
batalion, dan 1 batalion dari Brigif I Kodam Jaya menjadi tiga
batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan menjadi sekitar
7000 orang.
ADVERTISEMENT
Adalah menarik bahwa pada tengah malam, Aidit yang sebenarnya dijemput oleh perwira
Tjakrabirawa
dari rumahnya untuk dibawa ke Halim Perdanakusumah, pasca peristiwa
–berdasarkan sebuah laporan intelijen– digambarkan ikut sejenak hadir
dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan dengan Mayjen Pranoto di
ruang lain di rumah pertemuan itu, sebelum akhirnya dibawa ke Halim
Perdanakusumah.
Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam
pengakuannya, menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya
kenal’. Kehadiran Aidit di rumah Sjam malam itu, sedikit kurang jelas,
karena setelah menghadiri acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato,
Aidit yang tidak menunggu acara sampai selesai, pulang kerumah dan
menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo sampai menjelang tengah malam.
Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari rumahnya di Pengangsaan
Barat oleh dua perwira
Tjakrabirawa yang menggunakan dua
landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.
Acara di Istora Senayan, Musyawarah
Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung hingga agak larut.
Baru
setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium untuk berpidato.
Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang disampaikan
melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak
mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan
tempat duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi
oleh para perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris
Polisi Mangil, selain Kolonel Widjanarko.
Mulanya, Soekarno menyempatkan
diri ke kamar kecil. Di serambi Istora Senayan, Soekarno kemudian
menyempatkan membaca surat tersebut. Lalu masuk kembali ke ruangan.
Menurut kesaksian Widjanarko di kemudian hari, surat itu berasal dari
Letnan Kolonel Untung yang disampaikan melalui seorang kurir.
Setelah
membaca surat itu, Soekarno mengangguk-angguk dan nampak bersemangat.
Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno kemudian
menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan sebuah
kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan
suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila
itu demi kepentingan perjuangan.
Bagian yang dipaparkan Soekarno malam
itu adalah mengenai pertentangan antara Pandawa dari kerajaaan Amarta
dengan Kurawa dari kerajaan Hastina, yang sebenarnya masih memiliki
pertalian darah. “Dua negara ini konflik hebat. Tetapi pimpinan-pimpinan
dan panglima-panglima Hastina itu sebenarnya masih keluarga dengan
pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima Pandawa”, demikian lanjutan
pidato Soekarno setelah sejenak melihat jam yang telah mendekat pukul
sebelas malam.
“Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, harus
bertempur dengan orang-orang Hastina. Arjuna berat dia punya hati,
karena ia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya,
karena isteri Arjuna itu banyak
lho. Banyak ia punya
oom–
oom sendiri, banyak ia punya
tante–
tante sendiri.
Lho
memang di sana pun ada banyak wanita yang berjoang, saudara-saudara.
Bahkan gurunya ada di sana, guru peperangan yaitu Durno, ada di sana.
Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku
sendiri. Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri. Bagaimana
aku harus membunuh guruku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh saudara
kandungku sendiri, karena Suryoputro sebetulnya keluar dari satu ibu.
Arjuna lemas.
Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, Arjuna,
engkau ini ksatria. Tugas ksatria ialah berjuang. Tugas ksatria ialah
bertempur jika perlu. Tugas ksatria ialah menyelamatkan, mempertahankan
tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar di sana ada engkau
punya saudara sendiri, engkau punya guru sendiri.
Mereka itu mau
menggempur negeri Pandawa, gempur mereka kembali. Itu adalah tugas
ksatria,
karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung
untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”.
Dalam konteks situasi yang dipahami
orang per waktu itu, semestinya yang dimaksudkan bahwa yang dihadapi
Arjuna –yang sepertinya dipersonifikasikan sebagai Soekarno dari
Indonesia– adalah Malaysia yang serumpun.
Namun, setelah peristiwa
tanggal 30 September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang
disampaikan Soekarno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan
para jenderal dalam peristiwa tersebut.
Apalagi, Soekarno di bagian
akhir pidatonya mengucapkan serentetan kalimat, “Saudara-saudara
sekarang boleh pulang tidur dan istirahat sedangkan Bapak masih harus
bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam
nanti….”.
Di kemudian hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan surat
yang diterimanya sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi
bagian dari analisa keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa
yang beberapa jam lagi akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya
malam itu, 30 September menuju 1 Oktober 1965.
Bahkan Soe-Hokdjin (Arief
Budiman) pernah memberi catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para
perwira Perguruan Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno
menterjemahkan ajaran Kresna,
karmane evadhi karaste maphalesu kadacana,
sebagai “kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”.
Tetapi pada 30 September malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai
“kerjakan kau punya tugas kewajiban tanpa hitung-hitung
untung atau rugi”. Apakah karena sebelum berpidato, ia telah menerima secarik surat dari Letnan Kolonel Untung?
PADA Jumat dinihari jam 04.00, 1 Oktober
1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata,
apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ untuk kemudian
diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk
memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta, telah berubah menjadi
peristiwa penculikan berdarah yang merenggut nyawa enam jenderal dan
satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos,
dan Brigjen Soekendro ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati.
SOEKARNO
DI ATAS GULUNGAN KARPET. “Dalam suatu proses yang berlangsung 528 hari,
karpet kekuasaannya yang telah menghampar selama 20 tahun, akhirnya
tergulung seluruhnya……” (Repro Tony’s File)
Kenapa ‘penjemputan’ lalu berubah
menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah?
Ternyata,
tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua
perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel
Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk
menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”.
Letnan Kolonel
Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel Arief
meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk yang
lebih keras. Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”,
cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana
memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan
ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat dipastikan bahwa yang
dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut.
Bilamana penjemputan para
jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada Presiden
Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen
Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau
mati”. Faktanya, semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat
maupun kemudian di Lubang Buaya.
DARAH yang mengalir dalam peristiwa
tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965, menjadi awal dari proses
tergelincirnya Soekarno dari kekuasaannya. Dalam suatu proses yang
berlangsung 528 hari, karpet kekuasaannya yang telah menghampar selama
20 tahun, akhirnya tergulung seluruhnya……
sumber
http://socio-politica.com
http://www.merdeka.com/peristiwa/3-pasukan-letkol-untung-siaga-hadapi-dewan-jenderal.html