Jogjakarta sebagai wilayah yang menjadi pusat kekuasaan pra nasional, memiliki kompleksitas dan dinamika tersendiri pada
saat peristiwa 1965/66 terjadi. Secara cultural masyarakat Jogja adalah masyarakat
feodal. Tetapi juga symbol dari gerakan revolusi, bersampingan dengan image
tentang kota yang penuh dengan pergulatan intelektual. Di Jogja pula pertama
kali didirikan perguruan tinggi dalam masa revolusi.
Dalam konteks inilah penelitian berusaha menjelaskan
kompleksitas tersebut dengan mendudukkannya dalam konteks peristiwa 1965/66.
Dengan tidak berpretensi untuk menghakimi. Sebab sejarah bukan menilai, tetapi
berusaha untuk memahami, demikian kata orang-orang bijak.
HIPOTESA
Social anomaly yang terjadi pada tahun 1965/66
dipicu dari petualangan kelompok perwira progresif di Angkatan Darat (AD),
terutama di Divisi VII Diponegoro. Hal ini dianalisa Ben Anderson sebagai
gerakan di internal AD, dan telah meluluh-lantakkan sebuah organisasi politik
yang kuat dan mengakar di tingkatan
grassroot.
[4]
Kejadian di Jogja sendiri pada taraf tertentu
dapat menjadi replika dari peristiwa yang terjadi di Jakarta. Sekelompok perwira
dalam Komando Resort Militer (Korem) 072 Jogjakarta dengan bantuan dari beberapa
pasukan batalyon-batalyon di bawah komando Korem 072 melakukan penculikan
dan pembunuhan terhadap pimpinan mereka, Katamso dan Sugiyono, serta dilanjutkan
dengan menduduki Radio Republik Indonesia (RRI) Jogjakarta untuk menyiarkan
pengumunan Dewan Revolusi (Derev) wilayah Jogjakarta.
Fakta peristiwa yang (mungkin) ironis. Peristiwa
itu adalah sebuah gerakan militer. Mereka yang memegang senjata melakukan
aksi terhadap tentara yang lain. Tetapi yang kemudian dihancurkan adalah organ
sipil, sebab salah dalam kalkulasi politik dan mendukung gerakan Derev.
Situasi sosial dan politik pada masa pra Gestapu
tentu sangat mempengaruhi terjadinya persaingan politik di dalamnya. Konteks
Jogja dengan segala kompleksitasnya, setidaknya ada empat factor yang dapat
digunakan untuk menganalisanya. Pertama, di Jogja peranan kekuatan
feodalisme tradisional dengan kraton dan sultannya, mempunyai pengaruh yang
sangat kuat. Kedua, kekuatan dari golongan komunis yang menduduki suara
mayoritas dalam parlemen karena memenangi pemilu 1955 dan pemilu daerah 1957.
Ketiga, persaingan politik yang merasuk dalam kampus sebagai pusat
kegiatan intelektual. Keempat, konflik internal AD (baca Korem 072)
di Jogja sebagai bagian dari konflik yang terjadi di pusat. Dari keempat faktor
di atas diharapkan dapat membangun rekonstruksi ataupun struktur narasi yang
kurang lebih dapat menjelaskan peristiwa 1965 di Jogjakarta.
NGAJOGJAKARTA HADININGRAT
Eksistensi Jogjakarta ditandai dengan perjanjian
damai pada tahun 1755 di desa Gianti. Perjanjian Gianti yang dalam perpustakaan
Jawa dikenal dengan nama
palihan nagari, memecah Mataram menjadi dua.
Di sebelah barat Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan Mataram baru dengan
ibukota Ngajogjakarta Hadiningrat. Bagi Selo Soemarjan, struktur masyarakat
di Jogjakarta sangat terpengaruhinya.
[5]
Sebagai sebuah wilayah kerajaan kuno, Jogja
mempunyai daya atau kekuatan kosmis yang menurut perhitungan Jawa mempunyai
keistimewaan. Perhitungan secara kosmologi itu dilihat dari wilayahnya yang
mampu mempertemukan antara Gunung Merapi --tiangnya bumi yang menyangga antara
langit dan bumi-- dan Pantai Selatan --tempat berkuasa dan bersemayamnya Nyi
Roro Kidul--, sebagai tempat semua kekuasaan supra manusia terpusat. Sementara
sebagai wilayah dari sebuah negara (modern) Indonesia, Jogja mendapatkan kedudukan
istimewa, dan diakui keistimewannya dengan tegas sejak permulaan revolusi
nasional Indonesia.
Pergeseran dalam tata social dan politik pemerintahan
terjadi, terutama sejak Thomas Standford Raffles menjadi Gubernur Jendral
di Hindia Belanda, dari birokrasi tidak langsung ke birokrasi langsung. Dan
kekuasaan birokrasi mencakup daerah dataran tinggi bergunung-gunung yang mengelilinginya
dengan sebutan
zuider gebergton (zona pegunungan seribu); berkapur
dan yang sampai kini diidentikkan dengan kekeringan, tandus dan kemiskinan.
[6]
Sedangkan dari sudut pertarungan kebudayaan,
Redfield mengelompokkannya dalam great tradition dan litle tradition.
Atau penduduk Jogja dapat dianalogikan sebagai budaya kota versus budaya desa.
15% penduduk yang priyayi, bangsawan dan pedagang tinggal di kota satu-satunya,
sedangkan sisanya tinggal di pedesaan sebagai petani dan buruh.
JOGJA PASCA REVOLUSI 1945
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan penggantian
negara kolonial Hindia Belanda ke Indonesia membawa dampak perubahan bagi
tata social dan politik. Meskipun menurut Ong Hok Ham, negara bangsa Indonesia
tidak lain dari sebuah
successor state, di mana kekuasaan berada di
tangan kelompok status quo dan golongan-golongan yang mendukung kekuasaan
sebelumnya.
[7]
Sebagai daerah yang memiliki pemerintahan otonom (
swapraja), berita
proklamasi yang cukup mengejutkan dan membingungkan, dalam waktu relative
cepat direspon oleh kalangan nasionalis dengan membentuk Komite Nasional Indonesia
(KNI) tanpa menunggu perintah dari Jakarta. Anggota KNI dipilih antara lain
mewakili kaum nasionalis, sosialis, agamawan kaum tani-buruh serta organisasi
pemuda dan wanita.
Perubahan besar ini berlangsung tanpa Sri Sultan,
meskipun mendapat sambutan rakyat sangat antusias. Kemudian, Sultan membuat
pernyataan mendukung kemerdekaan nasional itu pada tanggal 9 September 1945.
[8]
Disusul pada tanggal 3 November 1945, dikeluarkan sebuah maklumat oleh Wakil
Presiden Mohammad Hatta tentang pembentukan partai-partai politik.
Partai politik terkemuka di Jogja dapat dipetakan,
antara lain:
- PNI yang dipimpin oleh kaum intelektual
berpendidikan barat yang tinggal di kota dan meluas terutama ke kalangan
kelas priyayi yang bekerja sebagai pamongpraja.
- Masyumi, partai Islam modern, didirikan
sebagai kelanjutan dari organisasi Majlis Syuro Ala Indonesia yang pada
awal mula didirikan oleh pemerintahan Jepang. Partai ini berpusat di Jogjakarta
dan Muhammadiyah merupakan kekuatan intinya.
- NU, partai Islam ortodoks, terdapat di
Wonokromo, desa yang terletak kira-kira 16 km di sebelah tenggara Jogja,
dan pesantren Krapyak di perbatasan selatan kota Jogja.
- PKI, melakukan rekrutmen anggota tidak
secara langsung. Partai ini berusaha memperoleh fasilitas-fasilitas resmi
dari KNI untuk mengorganisasikan kaum tani ke dalam BTI dan kaum buruh ke
dalam BBI dan kemudian ke SOBSI. PKI juga berhasil mendapatkan dukungan
aktif dari ketua PPDI (Persatuan Pamong Praja Desa) di Gunung Kidul, dan
mengusahakan agar pengurus PPDI di kabupaten mendukung PKI. Strategi yang
dilakukan PKI berhasil mendapatkan massa pengikut yang terorganisir dan
berpengaruh. Selain itu PKI mengembangkan teknik untuk membina suatu kelompok
pimpinan yang kecil tetapi militan dan penuh disiplin. Tanggapan yang paling
baik terhadap PKI terdapat di kecamatan-kecamatan Ponjong dan Karangmojo
di Gunung Kidul.
- Gerindo, partai yang dipimpin oleh Pangeran
Suryodiningrat diorganisir secara lokal dengan pengikut yang cukup besar.
Gerindo dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali dari Pakempalan Kawulo
Ngajogjakarta (PKN) sebelum perang. Selain lima partai di atas, ada
partai yang relative kecil seperti Partai Katholik dan Parkindo.
Kesuksesan PKI, dari mendirikan Lembaga Marx
(Marx House) sampai gerakan BTI untuk perjuangan petani, selain memperluas
spektrum bagi pengikut partai, juga memperkuat posisi tawar politik partai.
Pada tahun 1946, pemerintah daerah istimewa Jogjakarta menerima saran BTI
untuk menghapuskan pajak kepala atas kaum tani. href="#_ftn9" name="_ftnref9" title=""> [9]
Sedangkan pada tahun 1948, BTI memobilisasi kaum tani Sleman dan Bantul
untuk mendesak pemerintah agar menghapuskan hak-hak konversi atas tanah-tanah
bekas perkebunan Belanda dan menyerahkan tanah itu kembali ke rakyat. Mobilisasi
ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya UU no. 13 tanggal 26 April 1948
tentang penghapusan hak-hak konversi oleh KNI.
PEMILU 1955
Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih para anggota
DPR dan anggota konstituante. Di Jogjakarta, sebelum pemilu 1955 pada bulan
September-Desember, pernah diadakan pemilu pertama pada tahun 1951 untuk DPR
Daerah Istimewa Jogjakarta. Namun mungkin sebab tujuan yang local dan eksperimen
untuk menyelenggarakan dan mempersiapkan pemilu yang lebih besar, pemilu 1951
di Jogjakarta kenyataannya tidak dapat mendekatkan antara partai politik dengan
rakyat.
Pemilu 1955 di tingkat nasional menghasilkan
empat partai besar; PNI mendapat 22,3%, Masyumi 20,9%, NU 16,4% dan PKI 16,4%.
Sementara pemilu 1955 di Jogjakarta menghasilkan perolehan suara sebagaimana
dalam table.
Nama Partai
| Jumlah
Suara
|
DPRD
| Konstituante
|
PKI
| 43.954
| 39.713
|
PNI
| 21.839
| 30.048
|
Masyumi
| 17.982
| 16.783
|
NU
| 2.395
| 2.924
|
Sumber: Harian Pagi Nasional, tanggal 16 Desember
1955, hal. 2.
Kesuksesan PKI dalam pemilu 1955, diulangi
lagi dalam pelaksanaan pemilu 1957 untuk pemilihan DPR Daerah Istimewa Jogjakarta.
Dari 45 kursi yang diperebutkan, PKI memperoleh 14 kursi, PNI 8 kursi, Gerinda
6 kursi. Sedangkan dari seluruh perwakilan DPR propinsi, kota dan kabupaten
di seluruh Daerah Istimewa Jogjakarta PKI ?mendapatkan 64 kursi, PNI 37 kursi,
Masyumi 29 kursi dan Gerinda 28 kursi, dari seluruh kursi yang berjumlah 207.
[10]
Kesuksesan strategi dan taktik pergerakan politik PKI bagaikan jembatan untuk
bangkit dari memory tentang penjajahan. Satu hal yang selalu para ksatria
impikan.
MENJELANG PERISTIWA 1965/66
Pembubaran Masyumi dan PSI karena tuduhan keterlibatannya
dalam PRRI dan Permesta turut mempengaruhi konstalasi politik di Jogja. Kekuatan
politik partai terbagi menjadi dua kutub; progesif revolusioner dan kontra
revolusioner.
Kelompok progesif revolusioner terdiri atas
golongan Nasakom; Nasionalis diwakili PNI, Agama diwakili NU dan Komunis diwakili
PKI. Kelompok ini pula yang pada tahun 1959 bergabung dalam satu front bersama
yang disebut Front Nasional (FN). Sedangkan kelompok kontra revolusioner adalah
Masyumi, PSI, Murba dengan semua organisasi masa underbouw partai, termasuk
HMI.
Isu Neo Kolonialisme dan Imperialis (Nekolim)
mendorong Pengurus daerah Front Nasional DIJ untuk menyelenggarakan Rapat
Akbar Dwi Komando Rakyat di Alun-alun Utara, pada tahun 1962, yang dihadiri
langsung oleh Presiden Soekarno. Gaung slogan ganyang Nekolim yang dikampanyekan
Soekarno di Jogjakarta terus berlangsung. Pada tanggal 14 Agustus 1965 pengganyangan
Nekolim diwujudkan gerakan massa dengan pendudukan atas gedung
Jefferson
Library di Jalan Diponegoro.
[11]
Pendudukan dilakukan dengan upacara resmi yang dihadiri Tolchah Mansoer SH
dan Soetrisno, anggota Badan Pengurus Harian, wakil dari pemerintah propinsi,
FN DIJ, militer, dan kepolisian serta wakil-wakil parpol dan ormas dan massa
pemuda, buruh, tani, dan wanita yang berporoskan Nasakom. Gerakan massa untuk
pendudukan gedung Jefferson Library dimaklumkan mendapat restu dari Waperdam
I? Dr. Soebandrio dan Kepala Daerah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selanjutnya
gedung tersebut ditempati sebagai pusat kegiatan revolusioner dari poros Nasakom,
yaitu FN DIJ, FN Kotapraja Jogjakarta, Front Pemuda, PPMI, GOWJ, Sekretariat
Perjuangan Buruh, Sekretariat Ormas Tani.
[12]
Universiteit Revolutioner
Semangat progresif revolusioner yang menjadi
ciri khas masa tahun 60an, juga berimbas pada kampus-kampus di Jogjakarta.
Peta kekuatan progresif intelektual dan mahasiswa terbesar terdapat di UGM,
IKIP Jogja dan IAIN Sunan Kalijaga. Di UGM, selain HMI yang dicap sebagai
kontra revolusioner, ada HIS, Germindo dan GMKI, meskipun secara keseluruhan
kelompok CGMI mendominasi.
[13]
Selain HMI, semua bergabung dalam PPMI. Di IKIP peta kekuatan serupa
di UGM.
[14]
Sedang di IAIN, PMII mendominasi dengan sedikit HMI. Massa kuat CGMI
juga berada di Universitas Res Publika (Ureca) di jalan Trikora dan Universitas
Rakyat (Unra) di jalan Pingit. Gerakan pengganyangan kepada kaum anti Nasakom
di lingkungan kampus dilakukan oleh PPMI. Konflik antar gerakan mahasiswa
terjadi di universitas antara PPMI dan PMII versus HMI yang dianggap setan
universitas dan kontra revolusi.
[15]
Di kalangan pelajar progresif revolusioner,
monopoli IPPI menjadi pertentangan. Pada tanggal 27 September 1965, Front
Pelajar berporos Nasakom menyelenggarakan Apel Besar Brigade Sukarelawan Pelajar
DIJ. Di saat IPPI menentukan Hari Ikrar Pelajar secara sepihak, mendapatkan
tentangan dari GSNI, IPNU, ISKI, IPM, dan IPPNU yang merasa bagian dari kekuatan
pelajar progresif revolusioner, dan reaksi boikot atas Hari Ikrar Pelajar
yang diselenggarakan IPPI.
[16]
Sementara di sektor pemuda, perang antara India
melawan Kasmir dan Pakistan menyatukan poros Nasakom Jogja. Pada tanggal 20
September 1965, di lapangan militer Secodiningratan, Front Pemuda DIJ menyelenggarakan
Rapat Umum Pengganyangan Imperialis India, dan menyerukan resolusi kecaman
atas India, yang ditandatangani Presidium Front Pemuda DIJ yang terdiri dari
Pemuda Marhaen, Pemuda Ansor, Pemuda Rakyat, PPMI, dan Pemuda Katholik. Dukungan
yang sama dilakukan Front Pemuda DIJ terhadap penyelenggaraan KIAPMA (Konferensi
Internasional Anti Pangkalan Militer Asing).
[17]
Mobilisasi Umum untuk Dwikora
Wujud dukungan terhadap kebijaksanaan luar
negeri yang berkonfrontasi dengan Malaysia ditunjukkan dengan penyelenggaraan
latihan-latihan kemiliteran atau
training center (TC) oleh tiap-tiap
organ dari partai politik, ormas, organisasi profesi atau dari sukarelawan
dari pegawai negeri. TC-TC dilaksanakan di kampung-kampung sampai lapangan
seperti Kridosono maupun di Cebongan Sleman. Pemuda Rakyat juga mengadakan
TC di Kota Gede dan Cebongan dengan instruktur dari Korem 072 dan Kodim Jogja.
[18]
Senjata yang digunakan bukan berjenis
jung buatan RRT, tetapi senjata
laras panjang bekas Belanda dan Jepang. Peserta TC dari Pemuda Rakyat di Kota
Gede sekitar 3 peleton. Pemuda Ansor juga terlibat sebagai peserta dalam TC
di Cebongan Sleman.
[19]
Pertunjukan demonstratif oleh Persatuan Front
Nasional DIJ terjadi saat peringatan Dwi Dasa Warsa Kemerdekaan pada tanggal
25 Agustus, dengan sebuah Rapat Umum dan pawai Nasakom. Pawai terbesar dan
terpanjang dalam sejarah revolusi, href="#_ftn20" name="_ftnref20" title="">
[20]
diikuti lebih dari 1500 peleton yang terdiri dari pemuda, pelajar, mahasiswa,
buruh, tani, wanita, seniman, kesatuan-kesatuan hansip, sukarelawan, dan ABRI,
baik yang tergabung dalam partai poros Nasakom maupun yang merupakan kesatuan-kesatuan
lainnya.
[21]
Pawai mengambil rute dari Gedung Negara, Jl.Ahmad Dahlan, Suryobrantan,
putar benteng Kraton, Gondomanan, Sayidan, Jl. Tanjung, Kridosono, kembali
dan bubar di Gedung Negara, sampai pukul 3 pagi.
[22]
PERISTIWA INTERN KOREM 072
Peristiwa Gerakan 30 September di Jogja secara
kronologis dimulai ketika terjadi penculikan terhadap Komandan Korem Katamso
dan Kasremnya Sugiyono. Pada tanggal 1 Oktober 1965, penculikan dilakukan
oleh Mayor M, Kepala Seksi 5 Korem 072 bidang Pembinaan Veteran, dengan membawa
pasukan dari Seksi I Batalyon L Kentungan, yang dipimpin Peltu S. Kedua dibawa
ke Markas Batalyon L dengan menggunakan mobil
gaz untuk selanjutnya
ditempatkan di ruang Komandon Batalyon L (Mayor W), dan atas perintah Pelda
K (Dan Security Jon L), eksekusi dilakukan oleh Sertu AT bertempat di sebelah
selatan lapangan Batalyon L, di dekat batas kawat berduri. Seluruh rangkaian
peristiwa dari penculikan, penahanan, eksekusi dan penguburan terjadi antara
dan di kalangan militer. Sedang tentara eksekutor dalam pengadilan militer
memberikan pengakuan adanya perintah komandannya untuk mengeksekusi sebab
pertentangan internal militer antara tentara yang nekolim dan progesif.
[23]
Setelah pelaksanaan eksekusi, tentara yang
pro G30S menduduki RRI Jogjakarta dan menyiarkan pidato dari Mayor Mulyono
sebagai Komandan Korem yang baru sekaligus menjadi ketua Dewan Revolusi (Derev).
Kemudian pada tanggal 2 Oktober diadakan defile kelompok progesif revolusioner
untuk mendukung Derev yang dilakukan unsur PKI, Nasionalis Kiri dan militer
yang kebanyakan dari Jon L dan C. Defile yang diadakan sepanjang jalan Trikora
sampai Alun-alun Utara menandai perebutan komando militer di Korem 072 dan
bukan perebutan kekuasaan pemerintahan sipil yang waktu itu dijabat Sri Paku
Alam VIII sebagai pejabat Kepala Daerah ataupun terhadap Sudarisman Purwokusumo
SH sebagai Walikota Kotapraja Jogjakarta.
Sampai tanggal 4 Oktober, Korem 072 tetap di
bawah kekuasaan Mayor Mulyono. G30S juga mendapatkan dukungan dari kelompok
veteran Jogja. Tetapi berita pengumuman Pangkostrad Soeharto melalui RRI Jakarta
pada tanggal 2 Oktober di Jakarta, dan statement NU tanggal 5 Oktober menambah
kebingungan. Pada tanggal 5 Oktober, setelah dapat menguasai kembali Kodam
VII Diponegoro dari G30S Semarang di bawah pimpinan Kolonel Inf Sahirman
[24]
dan Letkol Inf Usman, Panglima Kodam VII Diponegoro Brigjen Suryosumpeno mengundang
Derev Jogja di Rindam Magelang. Mayor Kartawi, Kepala Seksi 2 Korem 072, sebagai
wakil Mayor Mulyono dalam struktur Derev Jogja memenuhi undangan. Sepulang
dari Magelang, Mayor Kartawi mengumpulkan para perwira dan memulihkan slagorde
Korem 072 ke dalam Kodam VII Diponegoro. Pada hari itu juga bertempat di Korem
072, Pangdam VII Diponegoro Brigjen Suryosumpeno memberikan briving kepada
perwira Korem 072 dan mununjuk Kolonel Widodo yang sebelumnya Asisten IV Kas
Kodam VII Diponegoro untuk memegang pimpinan sementara atau menjadi caretaker
Danrem 072 dengan tugas memulihkan kembali slagorde Korem 072 dan memulihkan
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono pada jabatannya seperti sebelum terjadinya
G30S.
[25]
Dari Magelang, Kol Widodo membawa pasukan pengawal
2 regu BTR Kavelari dan 1 pasukan peleton RPKAD. Keadaan genting hampir memicu
pertempuran terbuka di dalam kota, terutama di saat akan diambilnya jenazah
Katamso dan Sugiyono di markas Batalyon L Kentungan. Penghindaran dari pertempuran
terbuka dilakukan dengan jalan mengirimkan Batalyon L Brigif VI ke perbatasan
Malaysia pada tanggal 18 Oktober 1965, untuk kemudian dilucuti senjatanya
di dalam kapal yang membawa ke Batanghari oleh kesatuan Brawijaya dan di Pematang
Siantar diperiksa oleh pasukan Brawijaya yang lebih dahulu datang.
[26]
Sementara di Jogja, setelah Jon L yang dipimpin Mayor W keluar markas, pada
tanggal 20 Oktober diadakan pencarian dan penggalian kuburan Katamso dan Sugiyono
dan dimakamkan di Semaki.
[27]
PASCA PERISTIWA 1965/66
Pilihan untuk mendukung Derev dan kebingungan
bersikap, menjadi jalan simpang perebutan makna simbolik dari slogan progresif
revolusioner. Pernyataan ketua NU pusat di Jakarta yang mengutuk G30S, menjadi
jalan yang dipilih militer anti G30S di bawah pimpinan caretaker Danrem 072
Kol Widodo untuk mengadakan pertemuan dengan pimpinan PNU Jogja,
[28]
untuk kemudian pembicaraan diperluas dengan Muhammadiyah, PSII dan Parmusi.
[29]
Rentang hari antara tanggal 2 sampai 20 Oktober,
di dalam masyarakat muncul penggerombolan massa, perang pamphlet dan rumor
tentang tanda-tanda khusus di rumah-rumah tokoh NU dan PNI.
[30]
Seruan Kedua
Djangan bergerombol dan bersendjata diwaktu malam dengan
persetujuan dari Wk. Kepala Daerah DIJ, Paku Alam VIII, dikeluarkan oleh Komandan
Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 96 Jogja, Drs. R. Hartono. Satu seruan
berisi untuk menghindakan tindakan sendiri-sendiri oleh ormas, orpol dan golongan
masyarakat dan menghentikan perang pamphlet.
Sejak tanggal 5 Oktober, muncul ungkapan G30S
sebagai gerakan pada para (tentara) petualang yang anti revolusi. Dan pada
tanggal 20 Oktober 1965, diadakan Apel Besar Rakyat Progresif Revolusioner
Jogjakarta di Alun-alun Utara yang diprakarsai oleh Front Pancasila KAP G30S
[31]
dan Gerakan Umat Islam, sebagai bagian dari aksi mengutuk G30S yang kontra
revolusi. Idham Chalid hadir dan secara tegas menyatakan bahwa PKI menjadi
dalang G30S. Carataker Danrem 072, Kol Widodo menguatkan dengan pernyataan
sama.
Setelah apel, massa bergerak menyerbu gedung-gedung
kantor PKI dan ormasnya. Bentrokan fisik terjadi antara orang-orang PKI yang
mempertahankan dan kelompok Islam yang menyerang gedung CHTH (Chung Hwa
Tsung Hwi) yang menjadi kampus Universitas Res Publika (Ureka) dan kantor
Baperki di jalan Trikora. Danrem 072, Kol Widodo, selaku Pengawas/Koordinator
Pembantu Pepelrada DIJ-Surakarta dan Kedu, menyatakan keadaan darurat militer
dan mengeluarkan pengumunan tertanggal 25 Oktober, PENG-PKPPDD.004/10/1965,
bahwa gerakan G30S adalah gerakan yang dipelopori oleh PKI dengan ormasnya
dan meminta kepada rakyat yang progresif dan revolusioner untuk membantu ABRI
menumpas habis PKI? dan ormas-ormasnya sampai ke akar-akarnya.
Hari-hari berikutnya, tokoh-tokoh Front Pancasila
KAP G30S mendapat pinjaman pistol. href="#_ftn32" name="_ftnref32" title=""> [32]
Sementara massa bergerak melakukan penyerangan dan penangkapan untuk
diserahkan kepada tentara/polisi terdekat untuk dipenjara atau dengan truk-truk
tentara dibawa ke Luweng Si Grubug Gunung Kidul, hutan Kaliwiro Wonosobo atau
dibawa ke pinggiran Sungai Opak untuk dieksekusi. Entah siapa ksatria, atau
paria.
sumber dari
Syarikat Indonesia,
saya sengaja tidak mengedit kata G30/S/PKI dengan GESTOK (lain waktu)